Mempertanyakan Kesahihan Pendidikan Kespro dalam Penanggulangan Seks Bebas
Pergaulan
bebas rupanya masih menjadi bagian dari kehidupan remaja di negeri
muslim ini. Di tengah keinginan menyelamatkan para remaja dari
pergaulan bebas, sebuah video pesta seks pelajar justru beredar
baru-baru ini. Kali ini terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, DI
Yogyakarta. Dalam video tersebut terdapat tujuh anak laki-laki serta dua
perempuan melakukan pesta mesum di hutan Semampir, Desa Semugih
Rongkop. Diduga kuat peristiwa itu diabadikan dengan kamera ponsel oleh
salah satu pelaku (Kompas.com, 01/02/2012).
Sebagaimana yang
sudah-sudah, merebaknya seks bebas di kalangan remaja (pelajar) selalu
mengingatkan pada sebuah program yang kini giat dilakukan di
lembaga-lembaga pendidikan, yaitu pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja
(KRR). Dalam kasus ini pula, salah seorang pemerhati sosial Gunung
Kidul, Tri Asmiyanto, berpendapat bahwa pemerintah setempat seharusnya
lebih berperan dengan pemberian pelajaran kesehatan produksi (kespro)
bagi pelajar dan harus diberikan secara tuntas di sekolah.
Mengapa pada setiap kasus seks bebas remaja selalu memunculkan solusi pendidikan KRR? Benarkah seks bebas remaja dapat ditanggulangi dengan pendidikan kespro? Atau dengan kata lain, benarkah jika mereka telah memahami pendidikan kesehatan reproduksi ini lantas mereka manjauhi perilaku gaul bebas dan free seks? Mengapa seiring dengan digulirkannya program pemerintah ini justru angka kejadian tindakan tak senonoh itu makin tinggi? Dengan demikian, sejauh mana efektivitasnya? Jika memang tidak efektif, apa yang sebenarnya diperlukan para remaja agar terhindar dari perilaku seks bebas tersebut?
Gaul Bebas, Persolaan Ideologis
Semua
kalangan tentu sepakat bahwa pergaulan bebas, termasuk perzinahan
adalah tindakan kotor dan merusak. Apalagi di kalangan remaja - masa
yang semestinya tidak memikirkan persoalan tersebut apalagi
melakukannya, karena mereka seharusnya disibukkan oleh padatnya kegiatan
belajar di sekolah dan berbagai aktivitas yang menyertainya.
Kenyataannya, banyak dari mereka yang terjerumus pada jebakan syaitan
ini.
Bila dicermati, perilaku menyimpang remaja ini tentu tidak
lepas dari semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab membentuk
perilaku baik pada remaja. Mereka itu adalah orang tua (keluarga),
sekolah (masyarakat) dan negara. Ketika tatanan kehidupan yang ada pada
keluarga, sekolah atau masyarakat bahkan negara menyimpang jauh dari
yang seharusnya, maka bisa dipastikan perilaku remaja pun akan
menyimpang. Dan kini, sekulerisme, kapitalisme dan turunannya yaitu
liberalisme betul-betul telah menyatu dengan pola pendidikan yang
diberikan oleh ketiga pihak tersebut kepada para remaja.
Kini,
semakin banyak keluarga yang sekuler, cenderung berlepas tanggung jawab
dalam membina ketaatan para remaja kepada Sang Khalik. Berbekal
minimnya pembinaan ketaatan dari keluarga, mereka pun memasuki dunia
pendidikan di sekolah yang juga tak memberinya cukup imunitas terhadap
derasnya serangan budaya kufur (pergaulan bebas). Apalagi , kini
sekolah sudah semakin kapitalis dengan kecenderungannya menitik beratkan
aspek kognitif dan kemampuan akademis serta mengabaikan target-target
pembentukan kepribadian dan perilaku shalih pada peserta didik.
Di
sisi lain, negara selaku penyelenggara berlangsungnya kehidupan
bermasyarakat tak punya nyali untuk memberantas serangan virus-virus
jahat. Pornografi dan pornoaksi belum juga terbendung. Berbagai sarana
dan tempat maksiyat bagi kebiasaan gaul bebas tumbuh subur tak
tersentuh racun pembasmi. Sanksi pun tak pernah membuat jera pelaku,
apalagi mencegah pelaku lain untuk meninggalkan perbuatan buruknya.
Tatkala
penjagaan dari ketiga pihak itu pun lemah, maka remaja benar-benar
harus berhadapan dengan ideologi sesat dan sistem hidup yang rusak.
Kehidupan mereka semakin liberal, tak terkecuali saat mereka
berinteraksi dengan lawan jenis. Dorongan seksual yang tak terbendung,
sementara kontrol diri mereka lemah, ditambah lingkungan yang mendukung,
benar-benar telah memuluskan jalan bagi tindakan bejat ini. Oleh
karenanya, selama sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme ada di
sekitar mereka, maka pergaulan bebas akan subur berkembang. Inilah akar
persoalannya, pergaulan bebas adalah buah dari liberalisme, paham
kehidupan yang menjauhkan perilaku remaja dari pengaturan syariat Islam.
Berbagai
keprihatinan bukan tidak banyak diungkapkan, berbagai upaya
penanggulangan pun bukan tidak pernah dilakukan. Namun sayang, semua
itu belum membuahkan hasil yang nyata karena belum menyentuh akar
persoalannya yaitu pandangan hidup sekuler, kapitalis dan liberalis.
Inilah persoalan utama yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak
tatkala hendak mencari solusi bagi masalah yang semakin rumit ini.
Masalah pergaulan bebas adalah persoalan ideologi (pandangan hidup).
Maka solusi dari semua persoalan ini tentu haruslah menyentuh pandangan
hidup, baik yang diemban keluarga, sekolah (masyarakat) maupun negara.
Dari sini, akan nyatalah kesahihan dan efektivitas solusi yang diambil.
Menyoal Pendidikan Kespro Remaja (KRR)
Selama
statistik kejadian seks bebas di kalangan remaja meningkat, berbagai
program yang telah dicanangkan pun layak mendapat sorotan, sejauh mana
efektivitasnya. Pemerintah Republik Indonesia telah memaklumkan
pentingnya kesehatan reproduksi remaja, setidaknya hal ini sudah
tertuang dalam Propenas 2001. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja
pun mulai digencarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sebagai
upaya untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang kesehatan
reproduksi remaja.
Kekhawatiran pun telah mulai muncul, terutama
begitu melihat konten pendidikan KRR yang biasa disampaikan.
Diantaranya adalah konsep ABCD (Abstinensia, Be faithful, use Condom, no
Drug) yang berpeluang besar disalahgunakan remaja. Konsep ini memang
dirancang agar remaja tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah,
setia dengan pasangan, menggunakan kondom agar terhindar dari penyakit
menular seksual, dan menghindari obat terlarang sebagai sarana penularan
penyakit. Intinya, remaja harus memiliki perilaku seksual yang
bertanggung jawab. Memang, program tersebut terkesan baik dan
menjanjikan perbaikan bagi perilaku seksual remaja. Namun, bernarkah?
Jika
ditelusuri dalam implementasinya barulah nampak bias dari tujuan yang
dikehendaki. Dalam berbagai bentuk dan sarana penyampaiannya,
pendidikan KRR selalu diawali dengan mengajak remaja untuk memahami
proses pubertas yang mereka alami, dengan berbagai perubahan yang
terjadi pada tubuh (fisik), mental dan libido mereka. Intinya bahwa
eksplorasi seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar
dilakukan oleh remaja, karena kondisi libido mereka yang memang sedang
tinggi-tingginya. Namun agar tidak sampai terjatuh pada resiko mengalami
kehamilan tidak diinginkan atau tertular penyakit menular seksual, maka
perilaku seksual mereka haruslah senantiasa ‘aman’ dan ’sehat’. Dari
sisi inilah “konsep ABCD” diperlukan. Dengan konsep ini, maka remaja
tidak bisa disalahkan jika mendapati dirinya harus bereksplorasi seksual
asal dilakukan secara bertanggung jawab.
Dalam konsep atau
kampanye ABCD, maka A adalah Abstinensia, artinya bahwa mereka tidak
boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Ini tentu bukan
kampanye yang salah. Andaikan konsep ini hanya berhenti pada huruf A,
tak ada masalah. Sayangnya, mereka melanjutkannya dengan konsep B, C,
dan D.
Adapun B berarti Be faithful atau setialah. Maksudnya,
hubungan seksual baru aman jika dilakukan dengan pasangan yang setia
(tidak gonta-ganti pasangan). Bagi para remaja, kampanye ini tentu
sangat menyesatkan, karena kebanyakan mereka memang belum menikah.
Dengan konsep ini, mereka akhirnya merasa memiliki jalan untuk melakukan
aktivitas seksual secara ‘aman dan bertanggung jawab’ yaitu asal setia
dengan pasangan (pacarnya).
Belum lagi bila hal itu ditambah
dengan konsep C (use Condom), yaitu menggunakan kondom. Dikehendaki,
dengan alat ini hubungan seksual akan terhindar dari kehamilan tak
diinginkan dan penularan penyakit seksual (dual protection).
Dengan kondom pula, mereka malahan merasa lebih aman untuk melakukan
hubungan seksual meski dengan berganti-ganti pasangan. Jelaslah bahwa
program kondomisasi hanya akan membuat remaja semakin berani, ‘nyaman
dan aman’ melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya kondisi ‘nyaman dan
aman’ tersebut adalah semu. Sebab, seks bebas tak akan pernah aman dari
murka Allah SWT meskipun menggunakan kondom.
Adapun D (no Drug)
menghendaki remaja agar menghindari obat terlarang. Meski kampanye ini
tidak salah, namun pada tataran solusi bagi yang sudah terinfeksi
kecanduan obat, penanganan yang diberikan tidak menuntaskan masalah,
malah membawa persoalan baru. Seperti dengan pembagian jarum suntik
steril, obat-obatan substitusi (pengganti) narkoba, dan lain-lain yang
masih berdampak buruk bagi remaja dan perilaku seksualnya.
Intinya,
pendidikan KRR sesungguhnya hingga kini belum menampakkan
efektivitasnya.
Adapun Barat yang konon telah menjalankan pendidikan
semacam ini dan diklaim terjadi perubahan perilaku seksual remaja,
perubahan tersebut sebenarnya tidak otomatis menunjukkan tingkat
keberhasilan program ini. Sebab, kita semua tentu mengetahui rusaknya
kehidupan seksual remaja di Barat yang telah mencapai klimaknya akibat
sistem kehidupan liberal yang berlaku. Titik jenuh itulah yang membuat
remaja berpikir ulang untuk mencari bentuk pelampiasan seksual yang
lebih aman. Namun, tetap saja perubahan tersebut tidak mengarah pada
perilaku seksual yang benar dan diajarkan agama. Mereka bukan
meninggalkan seks bebas sama sekali, namun mereka hanya menggantinya
dengan seks yang ‘bertanggung jawab’.
Sementara di Indonesia,
dengan tingkat pendidikan seksualitas yang rendah, komoditas seksualitas
masih menjadi barang yang banyak diminati semua kalangan, bahkan anak
kecil. Oleh karena itu, meski bertujuan baik, pendidikan KRR yang sarat
dengan muatan materi seksualitas kerap menjadi ajang remaja
membicarakan persoalan ini di antara mereka. Yang terjadi justru
munculnya rangsangan seksual akibat pemikiran, ditambah fakta-fakta yang
banyak mereka jumpai di sekitarnya.
Meski mereka telah memiliki
pemahaman tentang kesehatan reproduksi, tingginya gejolak nafsu yang
tanpa diimbangi kekuatan taqwa kepada Allah SWT kerap mengantarkan
remaja pada perbuatan maksiyat (zina). Inilah yang selama ini menjadi
sorotan banyak pihak tentang rendahnya kualitas pendidikan KRR yang
diajarkan di lembaga pendidikan. Mengapakah pendidikan seksual (sebutan
yang lebih pantas daripada KRR) semata-mata mengajarkan agar hubungan
seks berlangsung aman dan bertanggung jawab?
Tak hanya sisi
seksualitas yang menonjol dalam pendidikan semacam ini. Namun,
target-target dan metode penyampaiannya pun jauh dari upaya mendobrak
akar liberalisme pergaulan remaja. Lebih-lebih aspek normatif yang
digunakan tidaklah berbasis akidah yang bisa melahirkan keyakinan dan
dorongan untuk bersikap. Dalam keadaan seperti ini, tak jarang dijumpai
peserta didik yang mengetahui masalah seks bebas, bahaya dan resikonya,
namun mereka tidak memiliki dorongan yang kuat untuk meninggalkan
kebiasaan buruk tersebut. Semua ini terjadi karena pendekatan yang
digunakan bukan pendekatan ideologis. Dengan demikian, pendidikan KRR
memang layak dinyatakan tidak efektif hingga seharusnya diganti dengan
pendidikan berperilaku berbasis akidah Islam.
Islam Menuntaskan Pergaulan Bebas
Sesungguhnya
syariat Islam memiliki sejumlah aturan yang berkaitan dengan penanaman
pemahaman agar setiap muslim (termasuk remaja) bertanggung jawab atas
kehormatan dirinya (QS. An Nuur [24] : 30-31) . Hukum Islam juga
mengatur apa yang mesti dilakukan remaja bila kebetulan libido mereka
muncul, sabda Rasulullah SAW: “Yaa ma’syara Asysyaabaabi
manistathoo’a minkum alba-ata falyatazawwaj faiinahu aghadhdhu
lilbashari wa ahshanu lilfarji wa man lam yastathi’ fa’alaihi bi
ashshawmi fainnahu lahu wijaaun”(muttafaq ‘alaihi) yang artinya: “wahai
para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu menanggung
beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.”
Islam bahkan mengatur kehidupan masyarakat agar interaksi yang terjadi
antara laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan umum dan khusus
tidak menimbulkan rangsangan seksual. Semua itu tercakup dalam
hukum-hukum pergaulan dalam Islam.
Aturan Islam tersebut juga
mengatur bagaimana rangsangan seksual boleh diimunculkan (yaitu dalam
hubungan pernikahan) dan menjaga dari perilaku dan segala hal yang
memunculkan rangsangan seksual. Dengan penerapan aturan ini maka
kehidupan remaja akan jauh dari pergaulan bebas. Oleh karena itu,
solusi bagi meningkatnya kasus pergaulan bebas remaja sebenarnya adalah
dengan menerapkan hukum-hukum pergaulan Islam.
Di sisi lain, jika
negara memiliki kapasitas menerapkan hukum Islam dalam semua
persoalannya, tentu kemunculan kasus pergaulan bebas akan segera
diminimalisir. Diantaranya adalah melalui sanksi yang tegas dan
kebijakan yang mengikat baik bagi pelaku seks bebas maupun para pemilik
modal yang mendapatkan keuntungan dari bisnis seks ini. Selama ini,
kebijakan setengah hati inilah yang membuat pelaku khilaf karena
berbagai sarananya bertebaran di mana-mana. Memblokir situs porno,
menjatuhkan sanksi tegas pengedar pornografi dan pelaku pornoaksi,
menghentikan kondomisasi dan lokalisasi miras maupun PSK, hingga
kebijakan pendidikan yang integral dengan aqidah dan hukum syariat
Islam, adalah hal-hal yang seharusnya menjadi prioritas utama negara
untuk menyelesaikan persoalan ini.
Sembari berharap perubahan
kebijakan yang signifikan dari negara, tentunya upaya preventif yang
dilakukan oleh pihak terdekat dengan remaja harus tetap dilakukan.
Keluarga sebagai benteng terakhir pembinaan remaja di rumah selayaknya
mengambil peran lebih. Mereka berkewajiban memberikan pemahaman
ke-Islaman yang kuat kepada anak-anak remaja sekaligus mengawasi
perilaku dan mendorong para remaja untuk terlibat dalam berbagai
aktivitas produktif. Semua itu diharapkan dapat menyalurkan energi
remaja yang tinggi dan menghindarkan dari pelampiasan energi secara
keliru. Orang tua tak perlu latah ikut-ikutan memberikan pendidikan
seks yang justru hanya akan menggairahkan rangsangan seksual remaja.
Penutup
Sungguh
bangsa ini akan tetap terpuruk manakala generasi mudanya masih
bersimbah lumpur kehinaan akibat pergaulan bebas. Remaja hanyalah salah
satu korban dari bercengkeramnya ideologi kufur sekulerisme dan
turunannya (liberalisme). Oleh karena itu, satu-satunya cara
menyelamatkan mereka adalah dengan mencabut akar ideologi kufur tersebut
dan menanamkan ideologi Islam yang terbukti shohih dan membawa kebaikan
bagi manusia di dunia dan akhrat. Semoga kita semua kian menyadari
pentingnya kembali kepada negara Islam yang manjadikan ideologi Islam
tersebut sebagai satu-satunya pengatur kehidupan manusia. Aamiin Ya Rabbal ‘alamiin. [] Noor Afeefa
Komentar
Posting Komentar