Langsung ke konten utama

Postingan

Kurikulum Direvisi Ajaran Islam Diamputasi

Perang melawan radikalisme kian kebablasan.   Kurikulum pendidikan khususnya pendidikan agama dianggap sebagai alat paling ampuh untuk mengubah pemahaman yang dianggap radikal.   Keinginan merevisi kurikulum pendidikan pun telah lama ada.   Sebagian proyeknya bahkan sudah dijalankan pemerintah. Namun, ada usulan yang sangat nyeleneh .   Kali ini disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU), KH Said Aqil Sirodj.   Ia mendesak agar kurikulum pendidikan agama dikaji lagi. Ia juga mengusulkan agar bab tentang sejarah yang dominan hanya menceritakan perang dikurangi porsinya (republika.co.id, 30 Juli 2018) . Ia menyatakan tentang banyaknya materi dalam pendidikan agama yang menceritakan perang-perang yang dilakukan Rasulullah Saw. seperti Perang Badar, Perang Uhud dan sebagainya.   Dan menurutnya, materi itulah yang menyebabkan siswa menjadi radikal.   Sebab, ayat-ayat perang sering disalahartikan oleh beberapa pihak.   Karenanya, ia mengajukan
Postingan terbaru

Khilafah Solusi Tuntas Persoalan Pendidikan Vokasi

MuslimahNews, KOMPOL  — Mendikbud, Muhajir Effendy, mendorong Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) se-Indonesia untuk melaksanakan program  Teaching Factory . Tujuan program tersebut adalah mendidik siswa SMK mampu memproduksi barang atau jasa dengan standar perusahaan itu.(Detik, 2018) Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman menyebut banyak angkatan kerja lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak siap kerja. (Jawapos, 2018) Komentar Politik : Pendidikan vokasi SMK menjadi salah satu  problem  penting pendidikan di Indonesia. Kompleksitas persoalannya dapat dilihat dari beberapa sisi. Salah satu yang paling menonjol adalah pengangguran lulusan SMK.  Harus diakui, daya serap lulusan SMK dalam pasar tenaga kerja amat rendah . Padahal, SMK digadang-gadang sebagai satu-satunya pendidikan tingkat menengah yang ditujukan agar lulusannya siap memasuki dunia kerja. Namun, kenyatannya tak demikian. Para pengusaha pun nyata-nyata mengeluhkan

Mendudukkan Harapan Orang Tua dengan Realita Anak

Kehidupan sekuler kapitalistik membawa tantangan tersendiri dalam proses pendidikan anak. Era digital pun begitu cepat mempengaruhi pola pikiran anak.  Kondisi yang dihadapi anak menjadi sangat kompleks dan berat.  Kemewahan dan kesenangan semu lebih menarik bagi anak dibandingkan idealisme yang berat.  Pada usia anak yang sudah mulai memiliki keinginan sendiri, tak jarang orang tua dibuat pusing.  Orang tua kerap berhadapan dengan berbagai keinginan anak yang tidak sesuai harapannya.  Masalah penampilan, memilih kegiatan di sela-sela waktu senggangnya, menentukan cita-cita, memilih jurusan atau lembaga pendidikan tertentu dan lain sebagainya adalah beberapa contoh yang membuat orang tua was-was; khawatir anaknya salah memilih jalan.  Menghadapi hal itu, tak jarang orang tua terjebak pada perselisihan perkara sepele hingga membuat hubungan keduanya merenggang.  Ada yang hanya gara-gara potongan rambut (anak laki-laki) misalnya, orang tua dan anak menjadi bermusuhan.  Di sisi

Menyelamatkan Rumah Tangga dari Penyimpangan Seksual

Galau soal LBGT tak hanya menimpa mereka yang belum menikah.  Kini, pasangan suami istri pun mulai terusik.  Rupanya LGBT juga memasuki ranah rumah tangga.  Mulai banyak isteri yang mengadukan persoalan penyimpangan seksual pasangannya.  Mereka mengadu bahwa ternyata suaminya sekarang gay, atau biseksual (yaitu menyukai dan mampu berhubungan dengan istrinya sekaligus dengan laki-laki lain).  Tak bisa dipungkiri, perilaku seksual menyimpang ini benar-benar telah mengguncang kehidupan rumah tangga.

Ujian Kesabaran di Bulan Ramadhan

Menapaki Ramadhan di tengah krisis multidimensi saat ini memang memberikan ujian berat bagi seluruh muslim.  Terlebih, berbagai seruan agar penguasa mengubah tata kelola negara dengan Syariah Islam masih belum menampakkan titik terang.  Meski mayoritas umat menolak kemunkaran tersebut, kedholiman penguasa justru semakin nyata hingga berujung kesempitan berkepanjangan.  Melambungnya harga berbagai komoditi, sulitnya mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak hingga penyakit sosial yang semakin parah, membuat dada umat semakin sempit.