Langsung ke konten utama

DIMENSI POLITIK SEORANG IBU

DIMENSI POLITIK SEORANG IBU
Oleh : Noor Afeefa

Pendahuluan
Ibu biasa diartikan sebagai sosok wanita yang memiliki tugas berkaitan dengan anak-anaknya.  Kedudukan ini memang berbeda dengan isteri yang lebih ditekankan pada tugas-tugas pendamping suami baik dalam urusan rumah tangga maupun sebagai pasangan hidup.  Sosok ibu begitu lekat dengan konteks anak-anak.  Karenanya, seorang wanita belum berkedudukan sebagai ibu apabila belum memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya meski ia sudah bersuami.

Di tengah hingar bingar propaganda keadilan gender saat ini, kaum ibu termasuk pihak yang banyak disasar.  Ini bisa kita lihat dari peran serta kaum ibu dalam berbagai lapangan kehidupan umum (dunia publik). Akibatnya, banyak ibu berstatus wanita karier yang melakukan aktivitas rutin di luar rumah sementara tugasnya sebagai ibu (bagi anak-anaknya) banyak terabaikan.   Pola dan standar kehidupan kaum ibu pun bergeser.  Kualitas seorang ibu lebih diukur dari kemampuannya berkiprah di dunia publik. Ibu yang hanya berkiprah di rumah untuk mengurusi pengasuhan dan pendidikan anaknya dianggap ibu terbelakang dan ketinggalan jaman.  Kaum ibu kini dihadapkan pada pilihan; terjun dalam dunia publik mengikuti arus ‘kemodernan’ ataukah tetap beronsentrasi pada tugas pokoknya mengurus anak-anaknya dan ia ‘terpaksa’ kehilangan kesempatan berkiprah di dunia publik.
Di tengah kesulitan yang menghimpit para ibu saat ini, masih adakah celah untuk mendudukkan ibu dalam dimensi politik ? Sebab, politik bukan aktivitas kaum laki-laki saja.  Sementara itu, maju mundurnya suatu kaum sangat ditentukan oleh baik buruknya peran politik yang diemban.   Bisakah ibu berperan sebagai figur politik ? Dan bagaimana memposisikan kaum ibu yang terjun dalam kancah politik namun tidak kehilangan jati dirinya sebagai ibu yang mempunyai tanggung jawab terhadap anaknya?

Ragam Kondisi Ibu
Di tengah masyarakat dijumpai beragam kondisi ibu.  Setidaknya ada 4 jenis ibu berdasarkan peran yang mereka jalankan (termasuk kepeduliannya pada urusan politik) ; Pertama, ibu-ibu yang berkarier di luar rumah untuk bekerja, aktif di LSM, organisasi politik atau aktivitas lainnya dengan sama sekali membiarkan anak-anak dan rumah tangganya.  Tugas mendidik anak-anak dan mengatur rumah tangga diserahkan kepada pihak lain, baik sekolah maupun pembantu rumah tangga.  Sosok ibu semacam ini banyak dijumpai di kota-kota besar.

Kedua, ibu-ibu yang berkarier di luar rumah namun tetap memperhatikan anak dan keluarganya dengan tenaga yang tersisa.  Pada ibu macam ini sudah ada sedikit kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya namun ia lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dengan mencari penghargaan lewat karier di luar rumah, kecuali bagi mereka yang bekerja karena terpaksa untuk menafkahi keluarganya.

Ketiga, ibu-ibu yang mencukupkan diri dengan aktivitas rumah tangga, tapi tidak menjalankan perannya secara optimal dalam membina anak-anak dan keluarganya.  Mereka sudah merasa puas kalau sudah menyelesaikan tugas rumah tangganya dan melihat anak-anaknya tidak rewel atau sekolah tanpa memperhatikan kualitas pendidikan anaknya.  Mereka tidak berpikir untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat atau bahkan berpikir akan kewajiban yang belum ditunaikan.  Ini adalah potret sebagian besar ibu-ibu saat ini.  Maka wajar bila ada anggapan bahwa kaum ibu pada saat ini tidak bernilai politis, karena sama sekali tidak berperanan membangun masyarakat secara langsung.

Keempat, ibu-ibu yang memaksimalkan potensinya di rumah untuk menjalanan tugasnya sebagai pendidik anak-anak dan pengatur rumah tangga suami, tetapi ia juga aktif di masyarakat (misalnya aktif di organisasi politik) untuk membentuk generasi dan masyarakat Islam.  Jadi ibu seperti ini tidak mencukupkan diri menjalankan peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tetapi juga menjalankan fungsi politiknya di tengah masyarakat.  Tentu saja, inilah tipe paling ideal diatara keempat tipe ibu tersebut.  Di mana kelebihannya ?

Peran Politik Ibu
Maju mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas generasinya.  Sekuat apapun suatu bangsa (kaum) bila generasinya rusak, bisa dipastikan bangsa tersebut akan mengalami kehancuran.  Demikian pula, seburuk apapun keadaan suatu bangsa, bila kemudian dilahirkan generasi yang berkualitas, akan mampu memperbaiki dan membangkitkan bangsa atau kaum tersebut.  Lalu, di tangan siapakah kualitas generasi ini ditentukan ?

Tak bisa dipungkiri, ibu memiliki peranan sangat besar dalam menentukan kualitas generasi.  Peran ibu telah dimulai saat anak masih menjadi benih dalam kandungan.  Bila ibu enggan melahirkan generasi, bisa saja ibu menolak untuk hamil.  Kemauannya untuk berpayah-payah hamil adalah bukti kesadarannya untuk melahirkan calon generasi.  Ini adalah modal pertama.

Karenanya, kesibukan wanita di luar rumah hingga menyebabkan wanita enggan untuk hamil dan mempunyai anak adalah sebuah malapetaka.  Inilah yang pernah terjadi pada beberapa negara yang menerapkan konsep kesetaraan gender, dengan memberi peluang sebebas-bebasnya bagi wanita untuk terjun di dunia publik.  Tingkat kelahiran menjadi rendah, sementara angka kenakalan anak semakin tinggi.  Dari manakah generasi berkualitas dapat lahir, bila untuk ‘mencetaknya’ saja tidak bisa.

Peran ibu berikutnya adalah saat ia mengandung.  Sembilan bulan bukanlah masa yang singkat.  Kalau mau, ibu bisa saja menunggu kelahiran anaknya tanpa berbuat banyak untuk meningkatkan kualitas anak, baik dari segi kesehatan lahir maupun batin.  Sebab, tanpa perhatian itu pun anak akan lahir bila dikehendaki yang Maha Kuasa.  Namun ibu yang sadar terhadap kualitas generasi akan mendidik anaknya semenjak dalam kandungan.  Dijaganya janin itu dari hal-hal yang dapat merusak badannya.  Ibu juga bisa memberi pendidikan ‘ruhani’ yang baik pada janin.
Begitu mulianya ajaran Islam hingga memberi ‘perlakuan khusus’ agar ibu dapat menjalankan tugasnya dengan baik, seperti kebolehan tidak berpuasa Ramadhan bagi ibu hamil dan menyusui, ketika haid dan nifas tidak boleh digauli oleh suami, terlarang sholat dan puasa ketika haid dan nifas bahkan membebankan kewajiban nafkah untuk si janin terhadap suami meski telah menceraikan isteri yang sedang hamil tersebut.

Setelah janin lahir, ibu pun memiliki peranan besar untuk menorehkan warna tinta pada lembaran putih yang dibawa anaknya.  Ibulah yang paling bisa mengajarkan kasih sayang pada anaknya tatkala ia menidurkan anaknya.  Ketika ibu menyusui sebenarnya tengah mengajarkan sikap kasih sayang dan lemah lembut.  Juga pelajaran tentang kebenaran dan keadilan yang sebenarnya telah ibu ajarkan ketika ibu menengahi dan menyelesaikan pertengkaran anak-anaknya.  Ibulah yang selalu mengajarkan anak untuk semangat berjuang sejak anak mulai bisa kontak mata dengan sekitarnya hingga anak mulai bisa berbicara dan berjalan.  Ibulah yang paling banyak mengajarkan tanggung jawab, kesabaran, kejujuran, empati dan sebagainya.

Berbagai jenis kebiasaan anak umumnya muncul dari perlakuannya saat ia berada dalam pengasuhan ibunya.  Oleh karena itu, ibu yang banyak mengajarkan aspek akhlak tatkala anak berada pada masa pengasuhan sebenarnya  tengah melakukan proses pendidikan generasi yang paling penting. 

Meski peran ibu selanjutnya dibantu oleh sekolah atau masyarakat, tentu saja penanganan pendidikannya akan tetap berbeda.  Apalagi kurikulum yang dipakai sekolah umumnya berbasis sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan).  Sekolah lebih banyak mengajarkan aspek kognitif dan memberikan ilmu pengetahuan tanpa dorongan untuk mengamalkannya. 

Pendidikan yang dilakukan ibu pada anaknya semenjak masa kehamilan hingga si anak mampu memilih jalan kehidupan yang benar bahkan memperjuangkan kebenaran adalah bentuk peran serta politik ibu.  Sebab, hasilnya akan terasa saat generasi yang dilahirkannya mengemban amanah untuk mengurus urusan umat (tugas-tugas kemasyarakatan).  Pendidikan politik yang dilakukan ibu memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tak dapat ditandingi oleh lembaga pendidikan profesional bahkan oleh  organisasi  politik, apalagi pembantu rumah tangga. 

Rasa tanggung jawab dan empati yang dimiliki ibu berbeda dengan pihak lain yang tidak melahirkan anak tersebut.  Sehingga kualitas pendidikan yang diberikannya pun akan berbeda.  Sungguh, pendidikan politik oleh ibu adalah gerbang pertama menuju keberhasilan pendidikan politik berikutnya.  Pemimpin yang amanah, tanggung jawab, berempati, sabar, adil dan memahami hukum-hukum Allah yang harus diterapkan hanya lahir dari keberhasilan pendidikan yang diawali oleh pendidikan ibu. 

Peran ibu seperti ini tak boleh dianggap remeh atau tidak bernilai.  Kiprahnya jauh lebih tinggi nilainya dari sekedar jabatan karier yang diemban seorang wanita, bahkan pejabat pemerintahan.  Sebab, peran politik ibu dalam hal ini adalah peran tunggal yang susah bahkan tidak bisa digantikan oleh orang lain, berbeda dengan peran yang lain.

Menjadi Ibu Berkualitas
Tentu saja, tugas ibu bukanlah memberikan pendidikan politik tanpa arah.  Tugas mendidik mungkn saja dapat dilakukan oleh siapa saja.  Namun, kedudukan ibu yang sangat besar di mata anak seharusnya menjadi aset tersendiri yang berbuah pada pendidikan berkualitas.  Pendidikan berkualitas dari ibu mustahil lahir dari ibu yang tidak berkualitas.  Oleh karena itu, pembenahan kualitas ibu sangat penting dilakukan.
Beberapa cara membangun ibu berkualitas diantaranya :
Pertama, ibu harus membekali diri dengan keimanan yang kokoh.  Keimanan terhadap Allah SWT yang telah memberi kepercayaan atau amanah berupa anak mutlak dimiliki.  Ibu harus menjauhkan dari keyakinan dan pemahaman keliru tentang hakikat anak.  Anak bukanlah benda yang lahir karena adanya hubungan ayah dan ibu.  Namun anak adalah karunia Allah SWT yang wajib disyukuri dengan cara merawatnya dan mendidiknya agar tumbuh berkualitas. 

Ibu juga harus merasa takut kepada Allah bila ia melalaikan kewajibannya kepada anak, atau bila ada hak-hak anaknya yang ia ambil.  Ibu harus sadar betul bahwa fungsinya sebagai ibu hanyalah diperuntukkan agar keturunan yang dilahirkannya menjadi manusia berkualitas.  Sebab, Allah akan meminta tanggung jawabnya kelak di Hari Akhir terhadap perannya sebagai ibu.

Kedua, ibu harus membekali diri dengan pemahaman dan pemikiran serta hukum-hukum Islam.  Artinya, ibu juga harus ‘cerdas’, mengerti halal dan haram serta memiliki akhlaq mulia.  Bekal ini mutlak diperlukan, karena ibu adalah teladan sekaligus guru bagi anaknya.  Bagaimana kita berharap murid baik dan mengerti bila gurunya sendiri bodoh dan tidak memberikan teladan yang baik.  Karenanya, tugas ibu sesungguhnya lebih berat dibandingkan guru di sekolah.  Ibu harus menguasai segala persoalan kehidupan anaknya, baik ketika ia masih dalam masa asuhan (balita), maupun tatkala menginjak usia baligh.  Sementara guru di sekolah hanya memberi bimbingan untuk bidang pelajaran tertentu dengan kesempatan yang sangat terbatas.

Pendidikan politik yang dilakukan ibu harus dapat mengarahkan anaknya sebagai sosok penerus perjuangan umat.  Ibu harus pintar memilihkan jalan bagi kehidupan anaknya.  Ibu juga harus pandai membuat peluang agar anaknya mampu mandiri dan akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat yang akan memperjuangkan sistem/hukum-hukum Allah SWT yang adil.  Semua ini membutuhkan kesadaran ibu untuk memahami pemikiran dan hukum Islam sebagai bekal bagi berjalannya proses pendidikan politik yang dilakukannya.

Di sisi lain, ibu adalah teladan yang tidak ada celah sedikitpun dapat lengah dari pantauan anaknya.  Karenanya, ibu harus bersikap ‘sesempurna’ mungkin.  Ini mengharuskan ibu betul-betul sepenuhnya menjalankan hukum Islam dan mengerti hakikat hukum-hukum tersebut sehingga dapat memberikan teladan sekaligus bimbingan kepada anaknya menuju pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT tersebut.

Ketiga, ibu juga harus ‘cerdas’ dalam bersikap terhadap berbagai fakta kejadian yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikannya kepada anak.  Tak dapat dipungkiri anak-anak juga bergaul dengan lingkungan sekitarnya.  Karenanya,  anak-anak juga berpotensi besar menjadi korban dari rusaknya sistem masyarakat yang ada.  Ibu yang selalu waspada terhadap persoalan kemasyarakatan adalah ibu yang sadar politik.  Tanpa kesadaran tersebut, ibu tidak dapat memaksimalkan pendidikan kepada anaknya.  Rusaknya akhlaq dan terabaikannya hukum-hukum Allah di masyarakat sangat mempengaruhi kualitas pendidikan anak kita.  Oleh karena itu, ibu yang berkulitas juga harus menerjunkan diri dalam persoalan kemasyarakatan.  Namun kiprahnya dalam dunia politik semata-mata untuk memperbaiki kerusakan masyarakat kemudian berjuang untuk menegakkan sistem masyarakat yang benar (yaitu Islam).

Aktivitas ibu dalam upaya memperbaiki masyarakat (misalnya dengan da’wah dalam orgainisasi politik) juga merupakan pendidikan politik bagi anaknya.  Sebab, anak akan mengerti tanggung jawab kemasyakaratan yang seharusnya diemban oleh seorang muslim.  Kiprah ibu dalam dunia politik bukanlah upayanya untuk mengejar karir apalagi dengan motivasi kesetaraan jender.  Kiprahnya semata-mata ditujukan untuk memperbaiki masyarakat yang rusak, karena ia menjadi bagian dari masyarakat dan karena tanggung jawabnya sebagai ibu yang harus menjaga anaknya dari kerusakan sistem masyarakat.

Penutup
Ibu sesungguhnya memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam menghasilkan generasi berkualitas.  Kurangnya kesadaran ibu terhadap tanggung jawabnya sebagai pendidik anak-anaknya adalah awal dari kehancuran generasi dan masyarakat.  Oleh karena itu, ibu harus dikembalikan pada fungsi asalnya.

Adapun kiprahnya pada peran yang lain (dalam dunia publik) harus diarahkan pada penyempurnaan peran utamanya sebagai wanita, yaitu sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya.  Dorongan materialistik-kapitalistik yang selama ini banyak dikejar oleh kaum ibu harus ditanggalkan.  Selanjutnya kaum ibu harus membenahi dirinya dan berkonsentrasi akan tanggung jawabnya sebagai benteng awal sekaligus terakhir bagi masa depan anak-anaknya.

Peran ibu dapat berdimensi politik ketika ibu sebagai pendidik bagi anak-anaknya mampu memberikan arahan menuju terbentuknya generasi yang memahami politik dalam arti sebenarnya.  Generasi inilah yang akan menjadi tulang punggung bangsa menuju terbentuknya masyarakat Islam.  Meski ibu dapat pula berkiprah dalam kancah politik, namun hal itu tidak mengharuskannya untuk terjun dalam dunia publik secara total.  Perhatian dan upayanya memperbaiki masyarakat menuju masyarakat Islam dapat dijalankan tanpa harus kehilangan kesempatan mendidik anaknya.  Inilah nilai politik pada ibu.  Ibu bukan saja dapat membina kesadaran politik umat, namun dapat pula menghasilkan generasi berkualitas yang sadar politik hingga menjadi pemimpin yang diharapkan umat.  Wallaahu A’lamu.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka