Kekerasan Anak adalah Bentukan
Di tengah santernya perbincangan tawuran
antar pelajar, budaya kekerasan yang dilakukan anak ternyata juga
merambah remaja sekolah di pelosok daerah. Tewasnya Muhammad Ardian,
siswa kelas VIII SMP 2 Rembang Purbalingga oleh teman sekolahnya setelah
keduanya berkelahi di halaman sekolah (Tribunnews.com , 23/09/2012)
menunjukkan dengan jelas bahwa perilaku keras (jahat) pada anak bukan
perkara aneh lagi.
Akal sehat mungkin tidak bisa menerima bagaimana mungkin anak SMP
tega menusukkan sebilah pisau dapur ke pinggang korban hingga meninggal
pada perkelahian sesaat sebelum jam masuk sekolah? Bagaimana mungkin
seorang pelajar SMP bisa berangkat ke sekolah dengan membawa pisau yang
sudah ia persiapkan untuk berkelahi (bahkan membunuh temannya). Apa
yang merasuk dalam benak pelajar tersebut; kebencian yang mendalam
menyulut aksi kekerasan atau rasa puas bila telah menyelesaikan
urusannya dengan membunuh sekalipun.
Itulah di antara bentuk solusi yang dianggap paling tuntas untuk
menyelesaikan setiap persengketaan sesama remaja. Emosi yang tidak
terbendung, kemarahan yang memuncak, senjata yang bermain, lalu nyawalah
yang melayang; inilah potret generasi preman, pribadi pecinta
kekerasan.
Yang paling memprihatinkan adalah usia para pelaku kekerasan
tersebut. Meski bukan anak kecil lagi (karena bisa jadi sudah baligh),
mereka masih berada di bangku sekolah menengah. Kejadiannya pun
dilakukan pada saat mereka menggunakan seragam sekolah. Miris, namun
mengapa ini semua bisa terjadi?
Rupanya area sekolah bahkan seragam sekolah tak menghalagi niat jahat
para pelaku kekerasan tersebut. Sama sekali tak terbersit dalam benak
mereka bahwa sekolah adalah tempat menimba ilmu, tempat belajar dan
tempatnya orang-orang yang ingin lebih baik kehidupannya. Bagi
anak-anak seperti ini sekolah bisa jadi hanya tempat berkumpul dengan
teman, atau tempat melampiaskan kepenatan di rumah. Tak ada keinginan
untuk menimba ilmu, juga rasa hormat pada guru, apalagi takut pada
peraturan sekolah.
Melihat fenomena di atas, layaklah kita menelusuri sejauh mana
efektifitas pendidikan yang diberikan sekolah dalam membentuk
kepribadian anak. Sekolah yang baik seharusnya mampu membentuk
kepribadian yang baik (sesuai Islam) pada semua siswa. Sebaliknya,
sekolah yang buruk adalah yang abai terhadap hal-hal tersebut.
Sayangnya, kenyataan inilah yang tengah terjadi saat ini. Sistem
pendidikan sekuler kapitalis telah menyita sebagian besar waktu dan
tenaga siswa untuk mengabaikan aspek pembentukan kepribadian tersebut.
Demi mengejar kurikulum penguasaan saintek, anak-anak kian terbentuk
menjadi pribadi kering jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari
mencari solusi berbagai persoalan yang menimpanya. Walhasil, mereka
bersekolah namun berkepribadian merusak, mereka mengetahui dosa
membunuh, tapi tak kuasa menolak godaan syaithan untuk membunuh.
Meski tidak semua anak yang mengalami hal itu, namun kecenderungan
atas hal itu semakin dirasakan, terlebih jika memperhatikan kebiasaan
tawuran yang makin ngawur itu. Cukup beralasan jika sekolah harus
menjadi pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan anak
sekolah. Dan cukup beralasan pula jika dikatakan bahwa sistem
pendidikan sekuler kapitalistik saat ini telah gagal dalam membentuk
kesalehan anak.
Di samping sekolah, pihak lain yang juga bertanggung jawab adalah
orang tua dan keluarga. Sebab, orang tualah yang secara langsung
diamanati membina anak-anaknya oleh Sang Pencipta. Orang tua pulalah
pihak yang pertama menorehkan bentuk kepribadian anak. Merekalah yang
memiliki kesempatan emas pada masa pra sekolah hingga sebagian waktu
anak terpakai di sekolah. Orang tua pula yang memiliki hak ta’dib
(mendidik dan menghukum anak) bila anak menyimpang dari ketentuan Allah
SWT. Dan, orang tualah pihak yang paling lama menemani anak-anak.
Rasulullah Saw pernah bersabda yang artinya :
“Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah
dan ibunyalah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi
(penyembah api dan berhala)”. (HR. Bukhari)
Rasulullah Saw juga pernah ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR. Ibnu Majah)
Demikianlah, betapa Allah SWT -Sang Pencipta generasi ini- telah
mengamanatkan tanggung jawab yang begitu besar perihal anak-anak kepada
orang tuanya.
Di sisi lain, kekerasan adalah manifestasi dari gharizah baqa’
(naluri mempertahankan diri) yang berkaitan dengan pemahaman yang
dimiliki seseorang (pelaku). Anak yang memiliki pemahaman dan kebiasaan
yang keliru (misalnya menyukai kekerasan, jahat) akan cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan problematikanya. Pembentukan
pemahaman dan kebiasaan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari habitat
mereka hidup, yaitu orang tua atau keluarga dan lingkungan sekitar anak
hidup.
Dengan demikian, perilaku kekerasan pada anak sebenarnya dapat
dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi
perkembangan kejiwaan dan pemahaman anak. Baik orang tua, sekolah,
masyarakat dan negara, keseluruhannya bertanggung jawab dalam membentuk
kepribadian yang baik pada anak.
Islam sebagai agama dan peratuaran hidup yang diturunkan Allah SWT
sesungguhnya telah menyediakan seperangkat hukum-hukum yang
pelaksanaannya akan menghasilkan anak-anak yang berkepribadian luhur
(Islam). Keagungan peraturan Islam jauh melebihi kualitas yang
dihasilkan sistem buatan manusia seperti sekulerisme-kapitalisme saat
ini. Allah SWT berfirman :
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin ?” (TQS. Al Maidah [5] : 50)
Buruknya sistem pendidikan, lemahnya kontrol negara terhadap media
yang merusak generasi (karena mengajarkan perilaku kekerasan), juga
ketiadaan sanksi yang adil atas semua pelanggaran yang terjadi dalam
sistem ini cukup menjadi bukti bahwa generasi pada jaman ini terancam
punah dari gelar generasi yang luhur. Kekerasan yang semakin menggejala
telah membuktikan semua itu.
Oleh karena itu, selayaknya kaum muslim merenungkan kembali tanggung
jawabnya untuk memikul Syariat Islam dalam kehidupan. Kehidupan sekuler
saat ini harus diganti dengan sistem khilafah Islam yang akan
melahirkan generasi sekualitas para shahabat yang mulia. Mereka hanya
berlaku keras saat melawan kekufuran. Sebaliknya mereka berlaku santun
dan saling mencintai sesama muslim. Tak ada pertumpahan darah yang
diharamkan untuk ditumpahkan. Keluhuran masyarakat pun akan diraih
sebagai janji dari Allah SWT -Dzat Yang Mahaagung. Karenanya, tak ada
kata untuk menunda, mari kita upayakan dari sekarang! [] Noor Afeefa
*) Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id
*) Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id
Komentar
Posting Komentar