Keluarga dalam
Ancaman Kapitalisme
Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang
mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala
bidang, tak terkecuali institusi keluarga.
Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar
tergerus oleh kejahatan kapitalisme.
Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses
mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.
Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan
Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme
adalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan
telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan
yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat. Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan
paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.
Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan? Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun
berdasarkan asumsi yang keliru. Asumsi
yang selalu ditanamkan di dalam teori ekonomi kapitalisme adalah bahwa
kebutuhan manusia tidak terbatas sementara sarana pemuas kebutuhan manusia
(barang dan jasa) terbatas. Untuk bisa
mencukupi kebutuhan yang tidak terbatas tersebut, diperlukan persaingan. Dalam hal ini teori hargalah yang mengatur
persaingan tersebut secara alami. Dengan
kata lain, hanya orang-orang yang bisa menjangkau “harga” (barang dan jasa) yang
bisa bersaing untuk hidup.
Dengan asumsi yang salah tersebut, politik ekonomi kapitalisme
bertumpu pada aspek produksi dan tidak menjamin adanya distribusi yang merata. Kegagalan politik ekonomi kapitalisme juga
terlihat dari masalah distribusi kepemilikan (milik pribadi, umum dan milik
negara). Para kapitalis (pemilik modal) dapat
dengan leluasa menguasai segala sesuatu bahkan apa yang seharusnya menjadi
milik umum. Tentu saja, hal ini semakin
menambah peluang terjadinya ketidakmerataan dalam distribusi sehingga jurang
kemiskinan semakin bertambah di masyarakat.
Inilah sebab terjadinya kemiskinan dalam negara kapitalis seperti
Indonesia ini.
Kemiskinan ternyata bukan satu-satunya perkara krusial yang
dihasilkan kapitalisme. Persaingan antar
individu masyarakat untuk meraih penghidupan yang layak dalam sistem ini telah
mendorong setiap individu untuk mencurahkan segenap tenaga tanpa
mempertimbangkan halal haram dan patokan syariah. Tak jarang manfaat pun diperdaya hanya dalam
perkara-perkara yang memuaskan kebutuhan duniawi dan mengabaikan aspek
ukhrowi.
Elemen keluarga pun termasuk yang terkena imbasnya. Kapitalisme yang menghasilkan kemiskinan dan
kesulitan hidup telah mengantarkan pada pelalaian tugas dan fungsi
keluarga. Berganti peran dan tugas antar
anggota keluarga sudah mulai jamak dilakukan.
Ibu berperan sebagai ayah yang mencari nafkah, sedang ayah berdiam di rumah
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan diberi pendidikan sudah banyak
yang dipekerjakan untuk mencari nafkah.
Tak hanya itu, orientasi yang dibangun keluarga pun sudah semakin
keliru. Fungsi ekonomi menjadi orientasi
utama sembari dikesampingkan fungsi lainnya.
Bila keluarga telah kehilangan visi dan misi yang benar bisa
dipastikan peradaban yang terbangun pun bukanlah peradaban agung. Inilah yang saat ini dirasakan kaum muslim di
hampir seluruh negeri tak terkecuali Indonesia, peradaban berada di ambang kehancuran.
Ibaratnya, masyarakat saat ini tengah menempatai rumah namun sebenarnya sudah tidak
layak huni, ia bagai ‘gubuk reot’ yang sudah selayaknya diganti.
Sadarkah penghuninya?
Tak bisa dipungkiri, keresahan tinggal dalam ‘gubug reot’ pun sebenarnya
tengah dirasakan anggota masyarakat, tak terkecuali negara sebagai penanggung
jawab urusan rakyat. Namun, rupanya kepekaan
yang mereka rasakan tak mampu membuahkan analisa yang tepat untuk melahirkan
solusi bagi penyelamatan ‘gubug’ yang sudah hampir roboh itu.
Selama ini, analisa terhadap permasalahan keluarga biasanya
hanya berkutat pada beratnya beban ekonomi yang ditanggung keluarga. Kemiskinan menjadi fokus perhatian yang
akhirnya banyak menginsiprasi munculnya beragam kebijakan bagi penyelesaian masalah
keluarga. Padahal persoalan keluarga sesungguhnya
bukan hanya kemiskinan, namun juga hancurnya nilai-nilai mulia keluarga dan
pelalaian tugas serta fungsi keluarga. Tingginya tingkat perceraian, kenakalan
remaja, atau pun pergaulan bebas dan sebagainya tentu tak dapat dipandang dari
sisi ekonomi semata. Dengan demikian,
solusi yang diperlukan adalah solusi mendasar yang mampu mengganti pondasi
masyarakat yang lemah dengan pondasi yang kuat.
Dari pondasi yang kuat inilah selanjutnya dibangun komponen bangunan
yang kokoh untuk melindungi masyarakat.
Namun, alih-alih mengganti pondasi yang rapuh, tawaran
solusi yang disampaikan banyak pihak ini ternyata tak lepas dari ideologi
kapitalisme – sang biang kerok kerusakan.
Baik pemerintah maupun komponen masyarakat lainnya cenderung mengatasi
persoalan secara parsial bergaya sekuler kapitalistik. Dan, bisa dipastikan solusi tersebut tidak
menjadikan agama (Islam) sebagai landasannya sebagaimana penyelesaian gaya
sekuler kapitalistik lainnya.
Kapitalisme Lahirkan Kebijakan Beracun
Di antara bentuk tawaran solusi bagi permasalahan keluarga
saat ini adalah beragam program pemberdayaan perempuan dan keluarga. Seperti, pembentukan kelompok Peningkatan
Peran Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) di berbagai daerah. Juga Program Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera (UPPKS). Menurut penggagasnya, program yang berbasis
pada pemberdayaan ekonomi perempuan tersebut, ditujukan agar kaum perempuan
mampu berperan aktif dalam peningkatan ekonomi keluargannya. Sebab, cara ini dinilai akan sangat efektif
sebagai salah satu metode menanggulangi masalah kemiskinan keluarga. Modal bagi pemberdayaan ekonomi perempuan
tersebut biasanya berbentuk kredit lunak.
Salah satu contoh penerapan yang dilakukan pemerintah dalam
rangka pengentasan kemiskinan berupa program yang dilakukan Pemerintah Kota
Banda Aceh. Pemda setempat melakukan program Pengembangan Usaha Ekonomi
Masyarakat (PUEM) dengan membuat kontrak kerjasama dengan BPRS Baiturrahman
pada tanggal 20 April 2009. Jumlah dana yang dikucurkan sebesar Rp 2 Milyar dan
sistem program menganut sistem Grameen bank yang mengutamakan kelompok sasaran
perempuan (80 %) dan sebagian kecil kelompok lelaki (20%). (http://www.pnpm-pisew.org)
Berbagai kelompok non pemerintah pun akhirnya berlomba-lomba
mengumpulkan dana produktif yang bisa digulirkan bagi keluarga dengan
memanfaatkan perempuan agar lebih berdaya secara ekonomi. Asumsi yang dibangun adalah dengan
pemberdayaan ekonomi yang ditopang oleh perempuan dalam keluarga akan
menjadikan keluarga makin tangguh dan mandiri dalam menghadapi badai krisis
ekonomi yang kini tengah melanda negeri.
Asumsi tersebut juga dibangun berdasarkan pemikiran KKG
(Keadilan dan Kesetaraan Gender), bahwa kurangnya partisipasi perempuan dalam
ekonomi keluarga menjadikan perempuan berada pada subordinat laki-laki. Dan hal ini dapat mengakibatkan beragam persoalan
seperti tindak KDRT dan penghilangan hak-hak perempuan lainnya. Sehingga asumsinya, dengan peran aktif
perempuan dalam penyelamatan ekonomi keluarga diharapkan juga akan
menyelesaikan persoalan perempuan, tak hanya keluarga.
Masih dalam kerangka berpikir kapitalistik, pemerintah juga
tak pernah berhenti untuk menggalakkan program pembatasan keluarga (yaitu KB). Slogam “dua anak lebih baik” diharapkan menjadi
jembatan bagi terbentuknya keluarga kecil sehingga akan mengurangi beban
ekonomi keluarga. Asumsinya, jika beban
ekonomi lebih ringan maka akan lebih memudahkan terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarga. Namun, benarkah?
Pada 2010 BKKBN meluncurkan program Genre (Generasi
Berencana), salah satu metode untuk mensosialisasikan program KKB (Kependudukan
dan Keluarga Berencana) bagi remaja dan generasi muda. Konon, program ini bertujuan agar remaja
tidak hanya memiliki pengetahuan dalam bersikap dan berperilaku sebagai pemuda,
namun memiliki perencanaan matang dalam mencapai masa depan. Diharapkan mereka mampu melangsungkan
jenjang-jenjang pendidikan secara terencana, berkarir dalam pekerjaan secara
terencana dan menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus kesehatan
reproduksi. Secara sederhana, apapun
nama dan jenis programnya, penundaan usia menikah dan pembentukan keluarga
kecil melalui KB dianggap sebagai solusi bagi masalah keluarga.
Sejalan dengan program ini, remaja juga menjadi sasaran
program kespro (Kesehatan Reproduksi). Meskipun dilandasi oleh semangat keprihatinan
terhadap maraknya pergaulan bebas remaja, namun program ini layak dipertanyakan
kesahihannya untuk menangani masalah tersebut.
Ya, karena pelaksanaannya terbukti tidak tepat sasaran dan disalah
gunakan.
Semua tawaran program tersebut telah bergulir di tengah masyarakat. Bak madu yang disukai semua orang, janji manis
berbagai program ini pun selalu dinanti.
Rakyat pun bahu membahu mensukseskannya dengan beragam bentuk dan metode
agar lebih diminati semua kalangan, baik remaja, mahawiswa, ibu-ibu, hingga
para bapak. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
dan keluarga, ide KKG, Keluarga Berencana (KB), Kesehatan Reproduksi dan
sejenisnya seakan menjadi kata sakti bagi penyelamatan masalah keluarga. Namun, benarkah demikian keadaannya?
Tentu saja, tidak.
Sesungguhnya semua propaganda tersebut telah menipu rakyat (umat). Selama ini umat tidak memahami hakikat
persoalan yang tengah mereka hadapi.
Dalam keadaan umat buta dari solusi hakiki, beragam tawaran solusi beracun
berbalut madu itu pun akan dianggap baik.
Padahal jika ditelaah secara mendalam nampaklah bahwa hasil propaganda
tersebut tak sebaik yang dijanjikan.
Sesungguhnya jika umat memahami bahwa ada jaminan kebahagiaan
hakiki bagi keluarga yang bisa diraih (melalui sistem Islam), pastilah mereka
akan mengambil jalan tersebut dan meninggalkan kebijakan beracun yang selama
ini mereka nantikan janji manisnya.
Namun, inilah persoalannya; kerapuhan solusi yang dijanjikan sistem
kapitalisme belum sepenuhnya dipahami umat.
Sebaliknya bangunan indah yang dijanjikan sistem Islam pun belum
sepenuhnya tergambar dalam benak dan menimbulkan kerinduan untuk meraihnya. Nah, bagaimana memahami semua itu?
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan yang Menipu
Beberapa sumber data statistik menyebutkan bahwa saat ini angka
perempuan bekerja memang masih lebih rendah dari laki-laki. Meski demikian,
dari tahun ke tahun, jumlah perempuan yang bekerja di berbagai sektor semakin
meningkat. Ini menunjukkan bahwa semakin
banyak perempuan (termasuk ibu) yang meninggalkan keluarganya untuk mengurus
pekerjaannya. Lantas, apakah dampaknya?
Propaganda pemberdayaan ekonomi perempuan telah menggiring
perempuan pada aktivitas tambahan di luar tugas pokoknya sebagai ibu dan
pengatur rumah tangga. Kondisi ini tentu
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kewajiban utamanya tersebut. Sebab, ibu kini lebih disibukkan pada urusan
mencari tambahan nafkah dibandingkan mengurus anak dan rumah tangga. Akibatnya, anak-anak kurang mendapat
perhatian dan bimbingan. Walhasil,
generasi yang dilahirkan tanpa kasih sayang yang cukup tentulah generasi yang
rendah kualitasnya.
Di sisi rumah tangga, kesibukan isteri pada aktivitas
mencari tambahan nafkah –meski dengan tujuan mengurangi dampak kemiskinan-
terbukti menambah tingkat perceraian, bukan malah mengurangi sebagaimana klaim
sebagian pihak. Dengan tambahan pendapatan,
para isteri ini merasa mampu hidup mandiri, tidak bergantung pada suami. Sikap ini juga berujung pada kesiapan hidup
sendiri tanpa suami (bercerai).
Demikianlah yang terjadi pada meningkatnya angka perceraian (gugat
cerai) guru PNS di Jakarta sebagaimana data yang disampaikan BPS (Republika,
18/08/2011). Demikian pula yang terjadi di
Cirebon dan Kuningan (pa-karanganyar.go.id, 26/10/20110). Hasil survey menunjukkan penyebab utama gugat
cerai mereka karena gaji dan tunjangan isteri lebih besar.
Dampak selanjutnya dari perceraian ini adalah meningkatnya single
parent yang tentu akan berpengaruh pada kualitas generasi. Bukan tidak mungkin, meningkatnya kenakalan
anak dan remaja, kejahatan narkoba, seks bebas kalangan remaja, aborsi,
peningkatan jumlah penderita HIV/AIDs adalah buah dari kehancuran rumah tangga
ini.
Pada perempuan yang belum menikah, program pemberdayaan
ekonomi perempuan akan berakibat pada rendahnya keinginan untuk menikah karena mereka
cenderung memilih menjadi wanita karier atau TKW. Di tengah derasnya arus pornografi –
pornoaksi dan liberalisasi pergaulan, bisa diprediksi apa yang terjadi jika
perempuan enggan menikah dan lebih memilih lajang. Bukankah hal ini menjadi jalan bagi pergaulan
yang tidak disyariatkan? Ya, persoalan baru pasti akan terus bermunculan dari
kebijakan yang tidak sahih.
Demikianlah, pemberdayaan ekonomi perempuan dan keluarga pada
kondisi tertentu mungkin bisa meningkatkan ketangguhan bahkan kemandirian
keluarga. Namun, bila semua itu harus
dibayar dengan hilangnya nilai-nilai mulia (kesakinahan) dalam keluarga, tentu
bukan kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki yang akan diperoleh, tetapi kehancuran. Dengan demikian, nyatalah tipuan program
pemberdayaan ini.
KKG yang Tidak Adil
Sepintas propaganda ini menjanjikan kehormatan bagi
perempuan dan konon bisa mengharmonisasi keluarga. Padahal, di balik jargon tuntutan persamaan
hak tersebut, dalam implementasinya ide KKG justru telah menjadi salah satu
alat ampuh untuk menghancurkan institusi keluarga muslim. Nafas KKG banyak menyerang tatanan keluarga
yang ditetapkan hukum Islam. Misalnya,
aturan yang menempatkan laki–laki sebagai pemimpin rumah tangga (pengambil
kebijakan utama) dan perempuan sebagai ibu serta pengelola rumah tangga
dianggap bias gender yang harus dipersoalkan.
Demikian juga dengan anggapan bahwa ketika seorang ibu
memiliki tanggung jawab utama dalam pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak
usia dini, sehingga membuat sang ibu kehilangan peluang bekerja di luar rumah
atau mengeksiskan karir publiknya, maka peran keibuan ini dianggap bertentangan
dengan semangat KKG. Berubahnya peran
dan tugas anggota keluarga tentu akan berpengaruh terhadap berjalannya fungsi
keluarga. Walhasil, kehancuran institusi
keluarga, lemahnya generasi muslim dan kerusakan perilaku masyarakat adalah tahapan
lanjutan yang pasti terjadi.
Pada tataran sosial, propaganda KKG juga telah berani
menyerang aturan syariah seperti masalah pakaian, larangan perempuan menjadi
pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi suami istri,
perkawinan, perwalian, nusyuz, ketentuan waris dan lainnya. Semua aturan tersebut dianggap diskriminatif
dan tak adil bagi perempuan. Islam dilekatkan bias patriarkhis, bahkan banyak
ayat dan hadits dituduh bermuatan misogynist (membenci wanita).
Propaganda tersebut sungguh menyesatkan karena bisa merusak
kaharmonisan keluarga dan bangunan masyarakat.
Ketika perempuan didorong lebih banyak berkiprah di ruang publik dan
berkarir tentu akan menambah beban bagi perempuan sendiri. Ide ini juga mendorong
perempuan bebas mengekspresikan diri termasuk dalam pemenuhan seksual. Akibatnya keharmonisan keluarga
terancam. Tercatat, saat ini di Inggris
hanya 40% anak yang lahir dari pernikahan. Di kemudian hari, bukan tidak
mungkin berpotensi melahirkan ancaman bagi masa depan masyarakat akibat
pertumbuhan penduduk yang minus.
Skandinavaia adalah contoh ekstrim yang patut dijadikan
pelajaran. Negara yang berhasil
menerapkan program keadilan dan kesetaraan gender (KKG 50 : 50) itu, kini
tengah menuai krisis. Alih-alih
mendapatkan kemajuan, di sana justru terjadi kerusakan struktur sosial. Angka perceraian meningkat 100% dalam waktu
20 tahun. Persentase anak yang
dilahirkan di luar nikah (perzinahan/prostitusi) hampir melebihi 50%. Kriminalitas meningkat 400% (1950-1970). Anak–anak yang depresi, broken home
dan bermasalah (alkoholik, narkoba, tindak kekerasan dan kriminalitas lainnya)
meningkat 400% (1970–1980).
Demikianlah, propaganda KKG sama sekali tidak memberi
keadilan bagi perempuan. Bahkan ia
menjadi ancaman bagi keluarga dan masyarakat.
Segala sesuatu tidak akan pernah dikatakan adil jika menentang ketentuan
Allah SWT yang Mahaadil. Maka, nyatalah
kesesatan propaganda yang digadang-gadang banyak pihak itu.
Janji Kosong Keluarga Kecil Bahagia
Pembentukan keluarga kecil (dua anak lebih baik) menjadi
program yang menjanjikan jika diukur dari kaca mata kapitalistik. Dengan memiliki anak lebih sedikit maka
beban/tanggungan keluarga akan lebih sedikit sehingga diharapkan upaya
mewujudkan keluarga tangguh dan mandiri akan lebih mudah terwujud. Inilah janji kebijakan kapitalistik itu. Benarkah demikian?
Sesungguhnya kebahagiaan keluarga tidak bisa diukur dari
besar kecilnya keluarga. Apalagi dalam
sistem kapitalistik saat ini, keluarga kecil pun akan tetap mendapatkan
ancaman. Sebab, tabiat kapitalisme
adalah merenggut kesejahteraan. Dengan
demikian, dalam sistem kapitalisme keluarga kecil tidak secara otomatis mendatangkan
kebahagiaan. Banyak juga di antara
mereka yang mendapatkan ancaman, tak hanya ekonomi bahkan sosial, pendidikan,
keamanan dan sebagainya.
Propaganda keluarga kecil melalui program pembatasan
kelahiran juga menyalahi syariah Islam karena bertentangan dengan aqidah Islam,
yakni ayat-ayat yang menjelaskan jaminan rezqi dari Allah untuk seluruh
makhluknya. Allah SWT berfirman :
وَمَا
مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rizkinya.” (QS Huud [11] : 6)
لَا
نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ
نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ
وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Kami (Allah) tidak meminta rezki kepada engkau, Kamilah
yang akan memberi engkau rizki. Dan akibat (yang baik) itu bagi
orang –orang yang bertaqwa (QS.Thaha [20]:132)
وَاللَّهُ
يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Dan Allah yang memberi rezki kepada orang yang
dikehendaki tanpa perhitungan (QS. Al Baqarah [2]:212)
Ayat-ayat di atas mengharuskan kita untuk mengimani bahwa
rezeki semata-mata berasal dari Allah dan Dia memberikan rezeki kepada setiap
anak yang lahir ke dunia.
Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus yang
menjadi landasan program KB adalah batil karena tidak sesuai dengan kenyataan.
Produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan lebih dari cukup
untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada bulan Mei tahun
1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan hasil studinya,
bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk dapat
mencukupi seluruh populasi penduduk dunia (Prof. Ali Ahmad As-Salus, hal.
31).
Teori Malthus juga harus ditolak dari segi politik dan
ekonomi global. Karena ketidakcukupan barang dan jasa bukan disebabkan jumlah
populasi yang terlalu banyak, atau kurangnya produksi pangan, melainkan lebih
disebabkan adanya ketidakadilan dalam distribusi barang dan jasa. Ini terjadi
karena pemaksaan ideologi kapitalisme oleh Barat (negara-negara penjajah) atas
Dunia Ketiga, termasuk Dunia Islam.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa program pembatasan
kelahiran (KB) sebagaimana yang dicanangkan Negara bertentangan dengan aqidah serta
berpijak pada teori yang batil.
Rasulullah Saw. juga menghendaki jumlah penduduk muslim yang
besar. “Nikahilah wanita yang
penyayang dan (berpotensi) banyak anak, karena sesungguhnya aku akan
membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain! (HR. Abu
Dawud: 1754),
Propaganda keluarga kecil juga telah mengantarkan perempuan menjadi
lebih liberal. Proyek ini setali tiga
uang dengan program pemberdayaan perempuan yang membuat perempuan terkesan
lebih berdaya, mandiri, namun liberal.
Dunia bekerja pada perempuan dalam sistem kapitalis telah mengancam
keluhuran kehormatan perempauan yang harus djaga. Kesakinah rumah tangga juga terancam dengan
maraknya percerian pada masyarakat urban.
Adapun Genre –meski belum lama dijalankan- terbukti bukannya
mewujudkan kesiapan remaja memasuki kehidupan rumah tangga, namun telah memberi
dorongan bagi penundaan menikah di usia muda sehingga perempuan (dan laki-laki)
cenderung enggan menikah dan lebih didorong untuk mengejar karier dan
pendidikan.
Akibatnya tentu bisa dirasakan; pergaulan bebas menjadi
jalan keluar bagi interaksi antar lawan jenis.
Kehamilan tak diinginkan menjadi konsekuensi berikutnya. Maraknya iklan telat haid di beberapa kota
semakin menunjukkan bahwa remaja kian rentan mengalami kehamilan tak
diinginkan. Itu semua sangat mungkin
dipengaruhi oleh kondisi tidak siapnya mereka menikah, padahal kebutuhan dan
lingkungan sosial begitu menghimpit dan mendorong munculnya gejolak syahwat. Padahal, remaja adalah aset keluarga yang
berharga. Jika mereka sudah teracuni,
kehancuran keluarga tentu tinggal menunggu waktu.
Dengan demikian, nyatalah pembentukan keluarga kecil tidak
menjamin terwujudkan keluarga bahagia apalagi tangguh. Kalaulah tanggungan berkurang, hal itu
menjadi tidak berarti jika beban keluarga akhirnya ditambah oleh faktor lainnya
yaitu ancaman hilangnya generasi baik dari sisi jumlah maupun kualitasnya. Kerusakan moral menjadi taruhan dari semua itu.
Di samping itu, kekhawatiran terhadap bahaya keluarga besar juga
tak sepenuhnya benar. Sebab, keluarga
dengan jumlah anggota keluarga banyak tidak memastikan menjadi persoalan. Sesungguhnya yang paling menentukan munculnya
berbagai persoalan keluarga adalah pengaturan atas populasi manusia yang tidak
benar (kapitalistik) sehingga sumber daya alam yang melimpah tidak mampu
mencukupi kebutuhan manusia yang banyak itu.
Padahal jika sistem Islam diterapkan maka tingginya jumlah populasi
manusia akan menjadi potesi yang besar bagi kemajuan peradaban, bukan sebaliknya.
Kondisi kependudukan Jepang tentu bukan harapan kita. Negeri Sakura ini terancam punah dalam 1000
tahun mendatang karena angka pertumbuhan penduduknya yang terus menurun. Angka kelahiran mulai menunjukkan penurunan
yang mengkhawatirkan sejak 1975. Saat
itu, tingkat kesuburan penduduk negeri itu anjlok hingga di bawah dua (vivanews.com,
15 Mei 2012).
Penutup
Demikianlah sepak terjang kapitalisme bagi keluarga muslim
saat ini. Ancaman yang sedemikian nyata
seharusnya melahirkan semangat untuk berjuang mengganti sistem kufur ini,
meninggalkan semua propaganda busuknya dan beralih pada solusi hakiki yang
menjanjikan kebahagiaan bagi keluarga.
Inilah tugas kita selanjutnya.[] Noor Afeefa
Komentar
Posting Komentar