Langsung ke konten utama

Khilafah Wujudkan Lingkungan Aman bagi Anak

Khilafah Wujudkan Lingkungan Aman bagi Anak

Oleh: Noor Afeefa
Tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi anak Indonesia saat ini melainkan prihatin dan miris.  Setidaknya hal ini sejalan dengan apa yang diungkap oleh Komnas PA tentang banyaknya jumlah anak yang mengalami kekerasan khususnya kekerasan seksual di tahun 2013 ini.  Ketua Komnas PA juga menyatakan bahwa 80 persen kekerasan seksual tersebut terjadi di dalam rumah oleh orang-orang terdekat seperti paman, bahkan orang tua sendiri.   Dengan demikian kondisi ini menunjukkan bahwa rumah sudah jarang bisa menjadi tempat mencari perlindungan bagi anak (Metrotvnews.com, 18 Juli 2013).
Kondisi memprihatinkan tersebut mungkin sedikit terobati melalui peringatan Hari Anak Nasional yang tahun ini bertema ‘Indonesia Yang Ramah dan Peduli Anak Dimulai Dari Pengasuhan Dalam Keluarga’.  Mengapa?  Sebab, harapanya jika keluarga atau rumah mampu bersikap ramah dan peduli pada anak, maka salah satu faktor penyebab terbesar masalah kekerasan pada anak dianggap sudah teratasi.  Melalui tema tersebut, diharapkan terwujudnya rumah sebagai tempat teraman bagi anak.  Bahkan Kemen PP-PA juga menginisiasi program kota ramah anak sebagai bentuk intervensi demi mewujudkan perlindungan terhadap anak Indonesia.
Masalahnya, bagaimana mewujudkan rumah yang aman bagi anak dalam sistem sekuler kapitalistik seperti sekarang ini?  Mungkinkah hal ini terwujud? Dan apa yang seharusnya dilakukan?

Kapitalisme Hancurkan Tatanan Keluarga
Harus diakui bahwa keluarga memang berperan dalam menekan angka kekerasan terhadap anak.  Dalam banyak kasus hilangnya keamanan dan kesejahteraan dalam keluarga telah berdampak pada rentannya tindak kekerasan terhadap anak.  Oleh karena itu, mengembalikan fungsi keluarga agar terwujud keamanan dan seksejahteraan seakan menjadi satu-satunya harapan agar masalah ini teratasi.  Persoalannya, benarkah demikian keadaannya?
Sebenarnya berbagai upaya dan propaganda untuk mengembalikan fungsi keluarga sudah jamak dilakukan.  Peringatan Hari Keluarga Nasional juga sering menjadi momentum untuk mengembalikan fungsi keluarga.  Berbagai kampanye tentang pentingnya institusi keluarga selalu memenuhi iklan layanan masyarakat.  Masyarakat pun sebenarnya cukup paham dengan masalah tersebut.  Namun tentu saja, upaya untuk mewujudkan hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.  Bahkan hampir dikatakan mustahil mewujudkan keluarga atau rumah yang ramah terhadap anak dalam sistem yang selalu melahirkan kemiskinan dan ketidakamanan ini.
Keluarga pada saat ini sesungguhnya tengah dihadapkan pada persoalan berat, terutama masalah kemiskinan dan hilangnya fungsi keluarga akibat kesempitan hidup yang dibentuk oleh sistem sekuler kapitalis.  Seorang ayah yang sudah mengetahui bahwa anak adalah aset bagi masa depannya dan harus dilindungi, mengapa bisa berbuat aniaya kepada anaknya sendiri?  Semua itu bisa terjadi karena kehidupan keluarga tidak layak.  Jika sebuah rumah sederhana harus dihuni oleh beberapa anggota keluarga, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, tidak terlindungi aurat masing-masing jenis, sedangkan pemahaman mereka jauh dari aturan Islam, maka kondisi seperti ini tentu sangat tidak aman bagi anak.
Kondisi yang menimpa keluarga tersebut tentu tidak semata-mata karena faktor internal.  Bagaimana pun pelaksanaan tatanan berkeluarga membutuhkan ruang, fasilitas dan aturan main yang baik.  Sedangkan semua itu sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu sistem ekonomi yang mensejahterakan dan pola kehidupan sosial yang ada di masyarakat.
Dengan demikian, mewujudkan tempat yang ramah bagi anak tentu tidak bisa serta merta dengan mengembalikan fungsi keluarga saja.  Jika hal itu menjadi satu-satunya solusi dan harapan, maka bisa dikatakan penyelesaiannya tidak menyentuh akar persoalan dan harapan pun sia-sia.
Memang, jika para ibu sadar akan kewajibannya menjaga anak-anak, mungkin akan lebih dapat mengurangi kejadian yang tidak dikehendaki itu, dibandingkan jika mereka tidak peduli dengan kewajiban-kewajibannya terhadap anak.  Meski demikian, untuk bisa mewujudkan itu semua membutuhkan upaya yang amat berat, bahkan bisa dikatakan mustahil mencapai tingkat ideal.  Mengapa?
Sesungguhnya kemiskinan yang dihadapi keluarga adalah masalah sistemik.  Kemiskinan keluarga hanyalah imbas dari rusaknya tatanan ekonomi yang diterjadi pada bangsa ini.  Minimnya tempat tinggal adalah hal yang harus dibayar oleh keluarga dengan penghasilan yang minim.
Upaya untuk memberikan pemahaman agar terwujud persepsi yang benar tentang hak-hak anak kepada seluruh anggota keluarga pun tidak mudah.  Tak hanya itu, keterbatasan ekonomi juga memaksa keluarga melanggar rambu-rambu syariah yang harus ditegakkan.  Misalnya, pemisahan tempat tidur antara laki-laki dan perempuan, menutup aurat, dan lain-lain.  Di samping itu, keluarga memerlukan sarana fisik untuk menjaga aurat antar penghuni rumah sehingga tidak mudah menimbulkan rangsangan antar lawan jenis.   Semua itu tak bisa lepas dari kemiskinan yang telah diciptakan oleh kapitalisme.
Dengan demikian, agar keluar dari keterbatasan fisiknya, keluarga membutuhkan peran negara dan masyarakat dalam membangun sistem ekonomi yang handal.  Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga sering terbentur oleh perkara yang menjadi kewenangan negara.  Ini dari sisi ekonomi.
Dari sisi keamanan, menciptakan lingkungan yang aman bagi anak pun menjadi perkara yang tidak mudah jika diserahkan kepada keluarga saja.  Dalam banyak hal, faktor pemicu kekerasan (seksual) pada anak justru berasal dari luar lingkungan anak yang kemudian dibawa ke dalam rumah.
Hal itu bisa berkaitan dengan rusaknya persepsi masyarakat tentang perempuan, seperti maraknya tayangan porno dan pergaulan bebas  di masyarakat.  Korban dari berbagai penyakit sosial tersebut terkadang malah anak-anak yang berada di lingkungan sekitar pelaku kekerasan (di rumah dan sekitarnya).  Sementara sanksi yang mampu mencegah berbagai tindakan rusak itu tidak dapat ditegakkan oleh keluarga sendiri.  Keluarga mengharapkan sanksi dari masyarakat dan negara.  Ini semua menunjukkan bahwa masalah keamanan –yang menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan pada anak- juga berkait dengan sistem sosial dan sistem persankian yang berlaku di masyarakat (negara) bukan murni urusan keluarga saja.
Dengan demikian, sesungguhnya yang dibutuhkan oleh keluarga saat ini adalah adanya sistem yang menjaga keluarga dan menjamin berjalannya fungsi keluarga.  Menciptakan kota ramah anak pada sistem kehidupan sekuler-kapitalistik saat ini hanya akan manjadi program yang indah dalam teori namun sulit dalam implementasi.  Sebab, tidak ada dukungan sistem yang mampu mewujukan semua itu.
Hanya Khilafah Islam yang Mampu
Khilafah Islam adalah tatanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi Islam sebagai sumber hukum dan peraturan.  Dengan keunggulan hukum-hukumnya (Islam), sistem khilafah telah terbukti mampu memberikan kesejahteraan bagi keluarga.  Sebab, Khilafah Islam memiliki mekanisme pengaturan ekonomi yang unggul untuk mengantarkan keluarga memiliki standar kehidupan yang layak.
Negara Khilafah berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya.  Semua sumberdaya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara.  Negara Khilafah juga berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warga negara, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan.  Dengan jaminan seperti ini, maka tekanan ekonomi yang menjadi salah satu faktor pemicu kekerasan terhadap anak dapat dihilangkan.
Selain itu, ketika Islam menghargai kebebasan, maka Khilafah berkewajiban menjaga agar kebebasan tersebut tidak kontra produktif bagi kehidupan.  Aktivitas perempuan diatur agar ketika beraktivitas di luar rumah, tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Khilafah juga akan menjaga media massa dalam menyebarkan berita.  Mereka semua terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga aqidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.
Khilafah juga akan menjaga agar suasana takwa senantiasa hidup di tengah masyarakat.  Negara khilafah berkewajiban membina warga negara sehingga ketakwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam.  Individu dan masyarakat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak.  Masyarakat juga berfungsi mengontrol agar individu dan negara tidak melakukan pelanggaran.
Khilafah pun akan menerapkan sistem persanksian yang adil sekaligus menjerakan orang yang berbuat aniaya.  Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap pelaku kekerasan anak.  Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah.  Penyodomi dibunuh.  Pembunuh anak akan diqishas, yakni balas dibunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta yang bila dikonversi saat ini senilai kurang lebih 2 milyar rupiah.  Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa.  Dalam sebuah hadist (HR An Nasa’iy), Rasulullah memerinci diyat bagi setiap anggota badan yang rusak dan juga penganiayaan.  Diantaranya satu mata 50 ekor unta, begitu juga bibir dan telinga.  Bahkan satu gigi pun dikenakan diyat 5 ekor unta atau sekitar 100 juta.  Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990). Dengan hukuman seperti ini, setiap orang yang akan melakukan kekerasan terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
Penutup
Hanya Khilafah Islam yang mampu membangun keamanan dan kesejahteraan.  Dengan demikian, hanya Khilafah pula yang bisa mewujudkan lingkungan terbaik bagi anak.  Kebijakan apapun saat ini yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kekerasan terhadap anak pada akhirnya akan gagal selama tatanan kehidupan sekuler kapitalistik menjadi pilarnya.  Inilah yang sesungguhnya dibutuhkan anak Indonesia dan dunia; hancurnya tatanan kehidupan sekuler kapitalistik dan tegaknya kembali Khilafah Islam yang akan melahirkan anak-anak yang cerdas, sholeh, bertakwa dan mampu membangun peradaban maju bagi dunia.  Dan perubahan ke arah ini pun telah semakin nyata.  Semoga Allah SWT segera menurunkan pertolongan-Nya.  Aamiin ya Robbal ‘alamiin. [] Noor Afeefa
Artikel telah dimuat di web hizbut-tahrir.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka