Perayaan Tahun Baru dan Serangan Hadlarah Asing
Hingar
bingar penyambutan tahun baru 2013 semakin memuncak, tak terkecuali di
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Pergantian tahun pada
kalender Masehi itu hampir selalu menjadi rutinitas perayaan yang tidak
boleh terlewatkan oleh semua kalangan umur. Libur panjang yang
beriringan dengan Natal bahkan bertepatan dengan liburan sekolah
menambah riuh orang-orang yang berkeinginan melalui pergantian tahun itu
dengan berbagai kegiatan spesial. Mereka umumnya beralasan bahwa
pergantian tahun adalah kesempatan yang hanya datang setahun sekali,
maka apa salahnya jika dirayakan atau diisi dengan kegembiraan melebihi
hari-hari biasanya.
Bagi muslim, merayakan tahun baru Masehi sebenarnya merupakan
aktivitas terlarang. Sebab, perayaan tahun baru merupakan bentuk
kebudayaan (hadlarah) dari luar Islam. Tahun baru pertama kali dirayakan
pada tanggal 1 Januari 45 SM. Pada mulanya perayaan ini dirayakan oleh
orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September.
Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal
1 Januari. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di
seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa
Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan
dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga
gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang
baru.
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual
keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan
dengan Islam. Salah satu contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap
tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai
dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur
mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan
terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara
Brazil.
Begitulah, tahun baru di beberapa tempat dalam perjalanannya identik
dengan kebudayaan yang berkaitan dengan akidah (keyakinan) tertentu.
Bahkan kini -di Barat khususnya- tahun baru identik dengan budaya
hura-hura dan seks bebas. Semua bentuk perayaan tersebut jelas-jelas
merupakan tindakan penyimpangan terhadap akidah dan syariah yang
diturunkan Allah SWT. Perayaan tahun baru adalah budaya yang dimiliki
oleh kaum di luar Islam.
Namun mengapa saat ini kaum muslim latah ikut-ikutan merayakan, atau
membesarkannya meski dengan sekedar ucapan selamat tahun baru, atau
bersuka ria memadati tempat-tempat hiburan khususnya pada malam
pergantian tahun.
Kaum muslim memang menggunakan kalender Masehi yang notabene menjadi
patokan penanggalan internasional. Namun bukan berarti kaum muslim
layak membesarkan atau merayakan pergantian tahun. Sebab, merayakan
hari pergantian tahun (tanggal 1 Januari) sudah identik dengan budaya
tertentu. Identitas ini tidak bisa hilang hanya karena kaum muslim
menggunakan kalender tersebut. Sebab, bagi muslim pergantian tahun
tidak bernilai apa-apa selain bergantinya waktu (dari tanggal 31
Desember menjadi 1 Januari). Syara’ tidak memandang adanya keutamaan
pada tanggal tersebut. Maka, mengapa mereka menganggap bahwa kehadiran 1
Januari adalah masa spesial yang menuntut perayaan.
Sesunguhnya, yang terjadi adalah infiltrasi budaya kufur di
tengah-tengah kaum muslim. Dan kini, sebagian besar muslim telah
benar-benar terseret dalam budaya kufur tersebut. Mereka tidak merasa
bahwa perayaan tahun baru adalah hadlarah (budaya) asing. Bahkan mereka
menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Sebagian lagi beranggapan bolehnya merayakan tahun baru asal tidak
melakukan perbuatan terlarang, seperti seks bebas, pesta miras,
ugal-ugalan di jalan dan sejenisnya. Pandangan seperti ini tentu saja
keliru. Inilah bentuk keberhasilan musuh-musuh Islam dalam menggiring
kaum muslim agar terjatuh dalam budaya asing. Mereka berhasil menggeser
makna perayaan tahun baru yang sebenarnya sudah identik dengan budaya
tertentu, dengan ajakan halus bernuansa kemanusiaan. Tanggal 1 Januari
berhasil dipaksakan sebagai hari raya internasional.
Padahal, sebuah hadlarah -yang terikat dengan pandangan atau akidah
tertentu- selamanya akan mengikat bagi pemeluknya. Demikian pula dengan
perayaan 1 Januari, ia tetap lekat dengan budaya kaum merayakan di awal
kelahirannya. Oleh karena itu, kaum muslim yang merayakan tahun baru
meski dengan aktivitas yang mubah hakikatnya telah terperangkap pada
hadlarah asing.
Sesungguhnya Syariah Islam tidak mengajarkan perayaan selain pada dua
hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw
bersabda :
“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adhha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).
Dalam hadist lain, dari Anas bin Malik ra. beliau berkata :
Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka
bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”Dua hari apa ini?”
Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.”
Rasulullah Saw. bersabda :
”Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhha dan idul fithri.” [Shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, an-NasaĆ® dan al-Hakim.]
”Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhha dan idul fithri.” [Shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, an-NasaĆ® dan al-Hakim.]
Dengan demikian tanggal 1 Januari tidak layak mendapatkan
pengagungan, apalagi perayaan, meski hanya dengan ucapan selamat.
Sebab, semua aktivitas tersebut adalah bentuk kegembiraan atas momentum
tertentu yang tidak disyariatkan. Terlebih, tanggal 1 Januari sudah
identik dengan budaya di luar Islam.
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud). Hadits ini sekaligus memperingatkan agar kaum muslim menjauhkan diri dari kebiasaan kaum di luar Islam.
Dengan demikian, perayaan, kegembiraan, ucapan selamat dan sejenisnya
yang dilakukan semata-mata karena hadirnya 1 januari adalah bentuk
pengekoran terhadap budaya di luar Islam. Kaum muslim haram
melakukannya. Apa yang terjadi saat ini menjadi bukti kebenaran sabda
Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:
“Hari kiamat tak bakal terjadi hingga umatku meniru
generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi
menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhari no. 7319)
Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk memerangi budaya kufur
dan berjuang menegakkan khilafah Islamiyyah yang akan membentengi umat
dari semua bentuk serangan budaya kufur. Aamiin. [] Noor Afeefa
*) Telah diterbitkan di web www.hizbut-tahrir.com
Komentar
Posting Komentar