Langsung ke konten utama

Jerat Dunia Hiburan pada Kaum Ibu

Jerat Dunia Hiburan pada Kaum Ibu

Dunia hiburan memang menggelitik semua orang tanpa pandang usia. Inilah fenomena yang terjadi pada tatanan kehidupan yang semakin liberal di negeri ini. Konser musik NOAH pada 2 Nopember lalu di Ancol benar-benar menyihir kawula muda. Mereka  tak hanya remaja, bahkan ibu-ibu muda pun turut memadati area konser tersebut. Bergaya trendi, ibu-ibu ini ngotot menyaksikan aksi terbaru sang bintang pujaan yang sudah lama absen karena tindakan asusilanya itu. Mereka pun bahkan rela meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil hanya demi memuaskan hasrat menghibur diri.

Inilah kekonyolan yang berulang terjadi di negeri seribu krisis ini. Krisis yang menghinggapi generasi (anak-anak) dengan semakin banyaknya peristiwa kekerasan yang dilakukan anak, penggunaan obat terlarang, pergaulan bebas, dan lain sebagainya ternyata belum juga membuat jera kaum ibu untuk turut memikirkan upaya penyelesaiannya. Padahal, telah jelas bahwa permasalahan generasi ini memerlukan tanggung jawab lebih dari para ibu (orang tua).  Mereka  mestinya lebih memperhatikan putra-putrinya dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang semakin kompleks ini. Namun, mengapa ibu-ibu ini justru terjerat pada dunia hiburan. Fenomena apa lagi ini? Lalu, bagaimana mereka dapat bertanggung jawab dalam membina generasi?


Kapitalisme-Liberalisme Jahat!
Prinsip jahat kapitalisme berikut tentu tidak asing lagi; “Raih keuntungan dengan cara apapun”. Di antara cara meraup keuntungan yang paling mudah adalah melalui dunia hiburan.  Maka pemunculan grup musik atau bintang baru hingga penyelenggaraan panggung-panggung musik pun semakin menjamur. Apalagi, di tengah himpitan ekonomi dan menumpuknya persoalan kehidupan, semua orang menginginkan kesenangan sesaat untuk melepaskan (melupakan) penatnya kehidupan.  Karenanya, dunia hiburan menjadi laris manis. Baik di kota maupun kampung, sama saja, antusiasme masyarakat begitu tinggi.

Masyarakat pun berdalih, apa yang mereka lakukan adalah hak dan kebebasan individu yang seharusnya dijamin. Menghibur diri adalah hak yang tidak bisa dilarang, bahkan dianggap sebagai kebutuhan yang layak diperoleh di tengah himpitan masalah yang bisa mengantarkan depresi itu. Inilah kebebasan (liberalisme) yang telah dilahirkan oleh dedengkot kapitalisme yang amat jahat itu.

Anehnya, demi melampiaskan penat dan mengejar kesenangan sesaat sebagian besar orang – termasuk kaum ibu- rela meninggalkan idealisme yang sudah mereka maklumi bersama.  Misalnya, mereka rela merogoh kocek untuk membeli tiket yang tidak murah padahal mereka tahu adanya kebutuhan lain yang lebih penting. Atau, mereka rela meninggalkan anak-anak mereka sembari mendapat cibiran dari anak-anak, bahwa sang ibu lari dengan egoismenya.  Anak-anak itu pun akan berpikiran serupa untuk melakukan hal yang sama bila suatu saat mereka memiliki kesempatan. Inilah di antara bentuk kebebasan berperilaku yang dilahirkan kapitalisme.

Jadi, benarlah bahwa kapitalisme adalah induknya kejahatan. Dan dunia hiburan adalah salah satu sarana yang paling mudah bagi eksistensi ideologi ini.  Maka siapa pun yang terjerat pada dunia ini mereka pada hakikatnya telah jatuh pada kubangan masalah yang teramat dalam.  Dan bisa dipastikan, perbagai persoalan lanjutan akan muncul di belakangnya akibat perilaku keliru tersebut. Inilah kejahatan kapitalisme yang tidak banyak disadari kebanyakan orang, termasuk ibu-ibu penggila musik itu.

Ibu Terjerat, Anak Nista
Sungguh amat disayangkan, jika mereka yang terjerat adalah kaum ibu.  Mengapa? Karena mereka adalah pihak yang oleh Allah SWT diamanati untuk menjadi pengasuh, pendidik dan pemelihara generasi. Dalam pandangan Islam, sosok ibu diposisikan  sebagai figur sentral pendidikan dengan menjadikannya sebagai madrasah pertama (madrâsat al-ûlâ) bagi anak-anaknya.  Ibu memiliki peran yang sangat besar dalam memperhatikan dan mempersiapkan strategi pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak-anak menuju terwujudnya generasi masa depan yang berkualitas.

Begitu pentingnya peran ibu yang diberikan Islam, hingga Allah SWT memberikan balasan yang begitu besar bagi ibu.  Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
“Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka”” (HR. Bukhari-Muslim dan Turmudzi)

“Barangsiapa mempunyai dua anak perempuan dan diasuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga”. (HR. Bukhari)

Juga, tatkala Asma’ ra bertanya kepada Rasulullah SAW; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengutamakan laki-laki dari wanita, maka kami mengimanimu dan mengikutimu.  Dan kami para wanita serba terbatas dan kurang (dalam amaliyah).  Tugas kami hanyalah menjaga rumah dan melayani laki-laki.  Kami mengandung anak-anak mereka, sedangkan kaum laki-laki memiliki keutamaan dengan berjamaah, menyaksikan mayat dan berjihad.  Apabila mereka keluar untuk berjihad, kami menjaga mereka dan memelihara anak mereka.  Apakah kami dapat menyamai mereka dalam pahala, wahai Rasulullah ?”.  Lalu Rasul SAW bersabda  : “Pernahkah kalian mendengar dari wanita pertanyaan yang lebih baik dari pertanyaan ini? Kalau semua itu kalian lakukan dengan sebaik-baiknya, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang didapatkan suami-suami kalian”.

Sungguh, jika kaum ibu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tentu tidak akan menyia-nyiakan peran mulia ini.  Namun, apa yang telah menggerogoti jiwa para ibu muda tersebut sehingga rela menukarkan balasan agung dari Allah SWT dengan sedikit kesenangan duniawi dalam dunia hiburan?  Masih kurangkah janji Allah SWT untuk menggairahkan kaum ibu agar berani menghadapi tantangan kapitalisme dan liberalisme.

Masih kurangkah pula bukti bahwa generasi yang seharusnya mereka jaga kini berada pada ancaman yang sangat serius.  Depresi yang kian mengancam anak-anak dengan indikasinya berupa tindakan kontra produktif adalah bukti bahwa anak-anak memerlukan pertahanan yang lebih baik dari apa yang mereka dapatkan selama ini.  Dan, siapa lagi yang dapat diharapkan melainkan sosok ibu yang pernah melahirkannya dan yang memiliki kasih sayang teramat dalam kepada anak-anaknya.  Ibulah yang paling dapat melembutkan hati  anak-anak tatkala mereka berkeras hati untuk menentang aturan Allah SWT.  Ibu pula yang paling mengetahui metode terbaik untuk mengarahkan putra putri dengan segala kekhususan yang dimilikinya. Mungkinkah anak-anak lebih berharap dari orang lain?  Tentu tidak, karena ibulah yang paling diharapkan anak-anaknya menjadi benteng pertahanan dirinya.

Demikianlah, baik janji Allah SWT maupun kebutuhan akan peran ibu adalah dua perkara yang selayaknya menjadi perhatian seluruh ibu.  Selayaknya hal tersebut juga membuka kesadaran agar pada para ibu hanya memilih amalan yang akan menyelamatkan diri dan generasinya di surga kelak.  Seharusnya mereka tidak disibukkan oleh kesenangan duniawi, semacam kebiasaan menonton konser musik atau lainnya.  Sungguh, hanya kemudharatan yang bakal diperoleh dari aktivitas sia-sia tersebut.

Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya :
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (TQS. Al Hasyr [59]:18)

Rasulullah Saw juga memperingatkan agar kita selalu berbuat baik kepada anak-anak sesuai sabdanya :
“Bertakwalah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita tentu meyakini bahwa pelaksanaan syariat Allah SWT pasti akan membawa kebaikan bagi manusia.  Sebaliknya, berpalingnya manusia dari ketentuan Allah SWT hanya akan menuai azab dan keburukan bagi manusia.  Dengan kata lain, terjeratnya ibu pada aktivitas yang dilarang syariah, hanya akan menistakan anak-anak.  Mereka bukan hanya kehilangan kasih sayang dan tanggung jawab, bahkan mereka juga mendapatkan teladan yang buruk dari sang ibu.  Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi kita untuk segera mengembalikan kaum ibu pada peran dan kedudukannya yang sangat strategis tersebut.  Bagaimana caranya?

Wujudkan Ibu Shalihah
Mewujudkan ibu sholihah berarti mengembalikan peran dan kedudukan ibu sesuai Syariah.  Di tengah ancaman yang merong-rong ibu dan generasi yang harus dipeliharanya,  diperlukan langkah yang cerdas dan strategis, diantaranya :
  1. Menguatkan akidah (keyakinan) Islamnya bahwa kehidupan ini amat sebentar, sedangkan seluruh amalnya akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.  Allah-lah yang menguasai dunia ini dengan segala tipuan yang ada di dalamnya.  Sedangkan ibu hanyalah manusia yang seharusnya hanya berharap ridho dan surga-Nya saja, bukan kesenangan duniawi. Inilah landasan utama kehidupannya.
  2. Mengikatkan diri pada Syariat Islam.  Ketakutan yang teramat dalam akan murka Allah SWT bila mengingkari aturan-Nya mengharuskan ibu hanya memilih aktivitas yang mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan Alllah SWT.  Ibu tidak akan mudah tergoda oleh aktivitas sia-sia, semisal menonton konser musik, jalan-jalan, berbelanja, ngerumpi, membelanjakan harta secara kikir maupun boros, atau bahkan menjadi promotor bagi anak-anaknya untuk terjun dalam “dunia kesia-siaan” (menjadi artis, model, bintang film dan semisalnya).  Semua itu dijalani semata-mata karena aturan Allah SWT.
  3. Memperbanyak belajar Islam.  Hanya dengan menggali tsaqofah Islam, ibu akan memiliki pemahaman yang benar tentang pelaksanaan tugas utamanya.  Ibu pun akan mengetahui metode yang baik dalam mendidik anak-anaknya.
  4. Berkumpul dalam barisan ibu-ibu shalihah.  Arus liberalisasi memang amat kencang.  Maka satu-satunya cara agar ibu mampu bertahan menghadapi semua itu adalah dengan berkumpul bersama kaum ibu yang memiliki visi dan misi yang sama dalam menyelamatkan generasi.  Cara ini tentu akan sangat efektif, di samping agar lebih kuat bertahan, juga karena ancaman yang dihadapi adalah sebuah tatanan hidup bersifat sistemik dan telah mengakar kuat dalam masyarakat.  Hal itu tidak bisa dilakukan oleh aktivitas individu semata.  Harus ada gerakan bersama dalam melawan tantangan.  Terlebih, jika perjuangan tersebut mengharuskan berdirinya sebuah kekuatan global (khilafah Islam), tentunya mengharuskan peran serta seluruh kaum muslim, termasuk para ibu.
Demikianlah sebagian poin penting aktivitas yang akan menyelamatkan ibu dari jerat dunia hiburan yang semakin menggurita.  Bila ibu selamat, tinggallah mereka mengerahkan segenap potensinya untuk melahirkan dan memelihara generasi pejuang (pembangun) peradaban Islam.  Selanjutnya, janji Allah SWT pun layak diberikan kepada pahlawan generasi ini sesuai firman-Nya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (TQS. an-Nahl [16] : 97).

Semoga kita semua dapat meraihnya.  Aamiin, ya Rabb-al ‘Alamiin. [] Noor Afeefa

*) Telah diterbitkan dalam web www.hizbut-tahrir.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka