Wacana Nabi Perempuan, Upaya Mengangkat Derajat Perempuan?
Propaganda kesetaraan gender rupanya tak
mengenal waktu. Bahkan di saat-saat kaum muslim berusaha mendekat
kepada Al Qur’an –seperti di bulan Ramadhan ini- persoalan klasik ini
kembali dimunculkan. Bermula dari upaya menyingkap misteri Siti Maryam –
salah seorang perempuan yang banyak disebut dalam al Qur’an, opini
kemudian berkembang kepada Nabi perempuan. Inilah yang hendak diungkap
oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar –tokoh yang banyak menekuni isu-isu
gender- baru-baru ini (Republika.co.id, 12 Agustus 2012).
Wacana nabi perempuan sebenarnya sudah lama ada, bahkan tokoh
nasional tersebut pernah mengungkapkannya di media cetak nasional pada
2005 lalu. Dalam sejarah kaum muslim, bahkan sejak abad ke-4 Hijriyah
telah muncul pendapat tentang Nabi perempuan. Hanya saja, pendapat ini
tidak berkembang dan cukup asing karena kelemahan argumentasi dan
dalil. Kemudian, mayoritas ulama sepakat tentang tidak adanya nabi dari
kalangan perempuan. Yang mengherankan, mengapa profesor yang pro
gender ini mengemukakan wacana Nabi perempuan?
Tentu saja, semua itu tidak jauh dari keumuman pendapat beliau
tentang perempuan dan bias gender yang terdapat dalam penafsiran al
Qur’an. Wacana Nabi perempuan hanyalah salah satu perkara yang
diharapkan mampu mendongkrak peran dan kedudukan perempuan yang hingga
saat ini masih terganjal oleh nash-nash agama. Jika nabi perempuan saja
masih bisa diperdebatkan, maka tentu wacana perempuan yang lain (yang
lebih rendah kedudukannya, seperti kepala negara perempuan, dan
sejenisnya) tentu menjadi hal yang amat wajar diperdebatkan, meski sudah
ada pendapat yang kuat.
Jika opini ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Islam memuliakan
perempuan, tentulah tidak harus memasuki ranah yang tidak menjadi
pendapat jumhur ulama. Terlebih, sudah amat banyak persoalan perempuan
yang diangkat oleh Al Qur’an (dan Islam) yang menunjukkan kemuliaannya.
Dengan demikian, patut diduga opini ini lebih mengarah pada terbukanya
peluang (ruang) bagi perempuan untuk menduduki posisi yang dianggap
‘terlarang’ oleh agama. Toh hal itu sudah diperdebatkan sejak lama,
berarti perkara tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak mutlak
kebenarannya, dan masih membuka celah untuk diperdebatkan.
Menggunakan wacana Nabi perempuan demi membuka ruang bagi perluasan
ranah aktivitas perempuan (demi kesetaraan gender) tentu sangat
disayangkan. Sebab, meski perbincangan masalah ini telah dimulai sejak
abad ke-4 Hijriyah, namun jumhur ulama tidak pernah mengungkitnya.
Sebab, mereka bersepakat tentang tidak ada nabi dari kalangan
perempuan. Pandangan ini pun tidak lantas menunjukkan bahwa jumhur
ulama meredahkan kedudukan perempuan. Sebab, pendapat yang mereka
tetapkan tidaklah keluar dari hawa nafsu untuk membela laki-laki atau
merendahkan perempuan.
Dalam masalah kenabian, mayoritas ulama telah menyepakati tidak ada
nabi dari kalangan perempuan. Memang, ada beberapa perempuan yang
diberikan wahyu oleh Allah SWT, namun mereka tidak dikatagorikan sebagai
nabi, seperti Ibunda Nabi Musa as. (QS. Al-Qashash: 7) dan Maryam (QS.
Maryam: 17-18, QS. Ali Imran: 42-43). Juga, tidak semua yang diajak bicara oleh Allah berarti nabi. Sebagaimana
kisah tentang Dzulqarnain, Allah SWT pernah berkata-kata kepadanya
dalam QS. Al-Kahfi: 86, namun beliau tidak lantas menjadi nabi.
Demikian pula, tidak semua yang diberi wahyu berarti nabi. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an, Allah SWT juga memberi wahyu kepada beberapa makhluknya, seperti lebah untuk membuat sarang (QS.
An-Nahl: 68), namun pemberian wahyu itu tentu tidak berarti
mengangkatnya menjadi seorang nabi. Allah SWT juga memberi wahyu kepada
langit yang tujuh (QS. Fushshilat: 12), namun tidak berarti
mengangkatnya sebagai nabi.
Jika Maryam dikatakan telah ‘dipilih’ oleh Allah SWT, maka
tidak semua ‘yang dipilih’ pun berarti Nabi. Sebagaimana keluarga Imran
yang telah dipilih oleh Allah SWT (QS. Ali Imran: 33), ternyata tidak semua keluarga Imran menjadi nabi. Bahkan Imran pun bukan seorang nabi.
Memang, tidak bisa dipungkiri ada ulama yang berpendapat adanya nabi
perempuan, namun mayoritas ulama berpendapat untuk menolak hal
tersebut. Dengan demikian, tidak selayaknya menggunakan wacana Nabi
perempuan, meski hanya untuk menunjukkan bahwa Maryam adalah perempuan
yang luar biasa. Pun tidak layak jika digunakan untuk menunjukkan
keadilan Allah SWT kepada perempuan. Mengapa ada wacana/pendapat Nabi
perempuan selayaknya menjadi perhatian, apakah belum cukup perhatian
Allah SWT kepada perempuan melalui segenap hukum-hukum Islam yang
diturunkan-Nya?
Ketiadaan Nabi perempuan tentulah sama sekali tidak bermakna Islam
merendahkan derajat perempuan. Hal yang sama juga terjadi dalam
berbagai persoalan yang Islam menjadikan antara laki-laki dan perempuan
berbeda. Seperti, dalam masalah kepemimpinan negara; mayoritas ulama
bersepakat tentang terlarangnya perempuan sebagai kepala negara.
Demikian pula dengan konsep pembagian harta waris perempuan yang hanya
separuh laki-laki, atau keharusan meminta ijin bagi wanita kepada
suaminya jika mereka hendak bepergian bahkan untuk melakukan shoum
sunnah. Semua pemahaman tersebut muncul semata-mata kerena nash syariah
memang menyebutkan dan menghendaki hal itu, dan tak ada penafsiran lain
keluali memang keadaan perempuan harus berbeda dengan laki-laki.
Demikian Allah SWT menghendaki pengaturannya.
Adanya wacana/pendapat tentang Nabi perempuan bahkan bisa berpengaruh
negatif. Pendapat seperti ini bisa memunculkan keragu-raguan tentang
berbagai persoalan yang sebenarnya sudah dipahami dan diyakini
kebenarannya menjadi perkara yang mungkin keliru (tidak mutlak
kebenarannya). Padahal dalam Islam, banyak keragaman pendapat yang
mungkin terjadi dalam sebuah persoalan agama. Namun, bagi muslim
tentulah diwajibkan mengambil pendapat yang terkuat. Adapun jika
terdapat pendapat yang lemah, maka harus ditinggalkan. Dan hal itu
tidak berarti bahwa semua pendapat relatif kebenarannya. Sungguh, hal
ini amat berbahaya.
Di samping itu, wacana seperti ini telah memberi kesempatan bagi
pegiat gender untuk semakin menggencarkan propagandanya. Mereka kian
mendapat legitimasi keagamaan – suatu ranah yang sangat sulit ditembus,
karena berkait dengan keyakinan. Kemuliaan yang ditunjukkan Islam
terhadap perempuan bisa disalah tafsirkan untuk menduduki semua ranah
aktivitas yang dikendaki. Padahal, setiap muslim wajib terikat dengan
hukum syariah apapun bentuknya, tanpa memandang keberadaan perempuan di
hadapan manusia lain. Dengan kata lain, wacana seperti ini akan membuka
peluang dilibasnya hukum Islam demi menuntut kesetaraan perempuan dan
laki-laki.
Oleh karena itu, selayaknya umat Islam mewaspadai setiap bentuk
propaganda yang bisa menyimpangkan umat dari pemahaman Islam yang
hakiki. Umat harus semakin cerdas (memiliki aqliyah Islamiyyah),
sehingga mampu menolak setiap pemikiran dan wacana yang keliru.
Tak cukup itu, umat juga harus bersegera memiliki kepemimpinan Islam (al Khilafah) yang akan menjaga pemahaman umat dari pemikiran keliru. Keberadaan al Khilafah juga akan mengeliminir setiap upaya perjuangan berbasis gender, karena perempuan dalam sistem ini telah hidup dengan penuh keadilan dan kesejahteraan, tanpa perlu lagi perjuangan ala kapitalis tesebut. Semoga kita dimasukkan ke dalam golongan yang memperjuangkannya. Aamiin. [] Noor Afeefa
Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id
Komentar
Posting Komentar