Langsung ke konten utama

Hukum Syara’ Tentang Batasan Usia Menikah

Hukum Syara’ Tentang Batasan Usia Menikah

Pengantar
Pernikahan dalam Islam merupakan pengaturan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk khusus.  Pengaturan ini merupakan solusi bagi berbagai persoalan yang terjadi menyusul interaksi antara laki-laki dan perempuan.  Pernikahanlah yang menjadi pintu dibolehkannya berbagai interaksi yang bersifat khusus antara laki-laki dan perempuan.

Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan pernikahan. Diriwayatkan dari Ibn Mas‘ud RA, ia menuturkan: “Rasulullah SAW pernah bersabda: “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.  Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayhi)

Juga diriwayatkan dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah: “Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad).  Qatâdah kemudian membacakan ayat berikut: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (TQS ar-Ra‘d [13]: 38)

Demikianlah, pernikahan mendapat kedudukan yang tinggi dalam hukum Islam.  Karenanya, pernikahan menjadi perkara yang amat penting, karena tidak hanya bertujuan untuk melestarikan keturunan manusia, tetapi juga karena menjadi bentuk penghambaan kepada Allah SWT.[...]

Sebagai bentuk ibadah (penghambaan) seorang muslim kepada Rabbnya, pernikahan dalam Islam terikat dengan berbagai ketentuan yang pengaturannya diserahkan kepada Allah SWT.  Dalam hukum Islam dikenallah rukun dan syarat pernikahan.  Pengaturan terhadap ketentuan ini murni menjadi wewenang Allah SWT.  Karenanya, seorang muslim tak diperkenankan menikah kecuali setelah tunduk patuh menerima dan mengikuti ketentuan pernikahan yang ditetapkan Allah SWT.  Hukum pernikahan harus diterima sebagai bentuk penghambaan kepada Allah SWT sehingga tidak dapat diutak-atik (diubah) mengikuti hawa nafsu manusia.

Sebagaimana hukum syariat yang ditetapkan Allah SWT lainnya, maka pernikahan tentu membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia.  Hal ini juga ditegaskan dalam banyak ayat dalam al Qur’an diantaranya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (TQS. Ar Ruum [30] : 21)

Juga hadits Nabi Saw :
“Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka: seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan; dan mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya.” (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân).

Meski sarat dengan berbagai kebaikan yang dijanjikan, pelaksanaannya pada saat ini (di tengah sistem kehidupan sekuler kapitalistik) ternyata belum tentu memberikan kebaikan bagi pelakunya.  Banyaknya kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, traficking, pekerja seks komersial anak perempuan hingga eksploitasi sering dikaitkan dengan dampak-dampak yang menyertai pernikahan yang dilakukan oleh anak perempuan (pernikahan dini).

Persoalan ini pun telah menjadi bahan perbincangan banyak kalangan, hingga memunculkan kontroversi benarkah pernikahan dini memicu berbagai tindakan tersebut?  Ataukah, semua tindakan tersebut sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan pernikahan dini namun hanya dampak dari persoalan lain yang menyertai pernikahan dini?

Sebagian kalangan menilai berbagai fenomena buruk tersebut merupakan akibat dari praktek pernikahan dini.  Oleh karena itu, demi kemaslahatan perempuan kalangan ini menggugat usia pernikahan yang selama ini diberlakukan baik yang dijamin oleh hukum syariat maupun perundang-undangan yang berlaku (UU Perkawinan tahun 1974).  Mereka menganggap usia pernikahan perempuan yang terlalu dini berkonsekuensi buruk.  Mereka kemudian menggagas batas usia yang layak bagi perempuan untuk menikah.  Dengan mengacu pada pertimbangan kemaslahatan yang harus diutamakan dalam membina rumahtangga, maka mereka menetapkan batasan usia pernikahan anak perempuan adalah pada usia 18 tahun atau 21 tahun. 

Dengan logika demikian, maka apa yang selama ini telah menjadi pemahaman dan kesepakatan para ulama tentang batasan usia menikah mulai berubah.  Batas usia menikah pun ditetapkan mengikuti jaman dan kondisi saat kehidupan perempuan dan rumah tangga dalam ancaman.  Dengan dalil kemaslahatan, batas minimal usia perempuan yang boleh menikah ditetapkan secara berbeda dengan yang ditetapkan syara.  Demikianlah salah satu analisa yang dimunculkan.

Persoalannya, benarkah usia pernikahan anak perempuan yang selama ini dijamin oleh hukum Islam benar-benar membawa dampak buruk?  Ataukah, dampak buruk tersebut sebenarnya merupakan akibat dari faktor yang lain?  Bukankah karakter hukum Islam adalah menjadi rahmat dan membawa kebaikan bagi manusia.  Jika pelaksanaannya belum membawa kebaikan, apakah hukum Islam yang harus diubah?  Ataukah, harus dicari faktor lain (di luar konten hukum syara) yang menyebabkan pelaksanaannya berdampak tidak baik bagi manusia.  Dengan kata lain, apakah kemaslahatan dapat menjadi dalil untuk mengubah hukum syariat?

Hukum Menikahi Anak Perempuan
Pernikahan seorang laki-laki dewasa dengan anak perempuan yang masih kecil (belum haid) hukumnya boleh (mubah) secara syar'i dan sah. Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an adalah firman Allah SWT (artinya) :
"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." (TQS Ath-Thalaq [65] : 4).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud "perempuan-perempuan yang tidak haid" (lam yahidhna), adalah anak-anak perempuan kecil yang belum mencapai usia haid (ash-shighaar al-la`iy lam yablughna sinna al-haidh). Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika sebagian shahabat bertanya kepada Nabi SAW mengenai masa iddah untuk 3 (tiga) kelompok perempuan, yaitu : perempuan yang sudah menopause (kibaar), perempuan yang masih kecil (shighar), dan perempuan yang hamil (uulatul ahmaal). Jadi, ayat di atas secara manthuq (makna eksplisit) menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang belum haid dalam cerai hidup, yaitu selama tiga bulan.

Imam Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil hal. 212 mengutip Ibnul Arabi, yang mengatakan,"Diambil pengertian dari ayat itu, bahwa seorang [wali] boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil, sebab iddah adalah cabang daripada nikah."

Jadi, secara tidak langsung, ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak perempuan yang masih kecil yang belum haid.  Penunjukan makna (dalalah) yang demikian ini dalam ushul fiqih disebut dengan istilah dalalah iqtidha`, yaitu pengambilan makna yang mau tak mau harus ada atau merupakan keharusan (iqtidha`) dari makna manthuq (eksplisit), agar makna manthuq tadi bernilai benar, baik benar secara syar'i (dalam tinjauan hukum) maupun secara aqli (dalam tinjauan akal). Jadi, ketika Allah SWT mengatur masa iddah untuk anak perempuan yang belum haid, berarti secara tidak langsung Allah SWT telah membolehkan menikahi anak perempuan yang belum haid itu, meski kebolehan ini memang tidak disebut secara manthuq (eksplisit) dalam ayat di atas.

Adapun dalil As-Sunnah, adalah hadits dari 'Aisyah ra, dia berkata :
"Bahwa Nabi Saw. telah menikahi 'A`isyah ra. sedang 'A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat 'Aisyah berumur 9 tahun, dan 'Aisyah tinggal bersama Nabi Saw. selama 9 tahun." (HR Bukhari, hadits no 4738, Maktabah Syamilah). Dalam riwayat lain disebutkan : Nabi Saw. menikahi 'A`isyah ra. ketika 'Aisyah berumur 7 tahun [bukan 6 tahun] dan Nabi Saw. berumah tangga dengan 'Aisyah ketika 'Aisyah umurnya 9 tahun. (HR Muslim, hadits no 2549, Maktabah Syamilah).

Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (9/480) menyimpulkan dari hadits di atas, bahwa boleh hukumnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang belum baligh (yajuuzu lil abb an yuzawwija ibnatahu qabla al-buluugh).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa menikahnya seorang laki-laki menikah dengan anak perempuan kecil yang belum haid hukumnya boleh (mubah) secara syar'i dan sah. Ia bernilai sah dan tidak haram di hadapan syara’.  Hanya saja, kehidupan rumah tangga baru dapat dijalani ketika anak perempuan telah baligh, sebagaimana Rasulullah Saw tatkala membina rumah tangga dengan Aisyah.  Demikianlah pandangan para fuqoha dalam masalah usia pernikahan anak perempuan.

Mendudukkan Kemaslahatan
Meski hukum tersebut sudah sangat jelas, pelaksanaannya saat ini dianggap memberi kemudhorotan bagi perempuan.  Oleh karena itu, sebagian kalangan menghendaki pembatasan usia pernikahan dengan alasan mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan pada perempuan.

Berdalil dengan kemaslahatan dalam masalah ini tentu saja tidak bisa diterima.  Sebab, maslahat bukanlah dalil syara.  Maslahat tidak lain adalah hasil dari pelaksanaan hukum syariat.  Dimana ada pelaksanaan syariat, maka di situlah terdapat maslahat.

Allah SWT mengutus Rasul Saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (TQS al-Anbiya’ [21]: 107).
Ayat ini menunjukkan bahwa keberadaan risalah yang dibawa Rasulullah Saw. dan diterapkan di tengah-tengah manusia menjadi rahmat bagi seluruh manusia.
Allah SWT juga berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin (TQS al-Isra’ [17]: 82).

Kedua ayat ini menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya. Rahmat maknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat.  Inilah yang dimaksud dengan maslahat. Jadi, rahmat yakni maslahat, merupakan maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah.  Dengan demikian, maslahat bukanlah dalil atau alasan bagi hukum tertentu.

Di samping itu, penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariat. Syariat pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia.

Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat bagi dirinya sendiri. Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai; manfaat dianggap mafsadat dan mafsadat dianggap maslahat. Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal tentu mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu sebagai maslahat, padahal justru mafsadat. Jika sudah demikian, bencana pun akan menjadi keniscayaan.

Allah Swt. berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagilian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 216).

Maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariat sedangkan mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata—ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
نَهَانَا رَسُولُ اللهِ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).

Dengan demikian, kemaslahatan tidak dapat mengubah hukum yang sudah pasti.  Berbagai kemudharatan yang dirasakan oleh sebagian perempuan yang menikah dini tidak bisa menjadi alasan mensyaratkan batas minimal usia pernikahan yang menyalahi hukum syariat.

Kondisi, waktu dan tempat tidak serta merta menjadi alasan dibolehkannya mengubah hukum yang sudah pasti.  Sebab, hukum syariat diturunkan untuk menjawab semua problema kehidupan manusia bagaimana pun, di manapun dan kapan pun.  Yang seharusnya dilakukan manusia tatkala kehidupan tidak kondusif bagi pelaksanaan hukum syariat, maka manusia harus mengubah kondisi terebut agar hukum syariat dapat dilaksanakan dengan sebenar-benarnya.  Bukan malah mengubah hukum agar sesuai dengan fakta kehidupan.

Dengan demikian, tindakan untuk menyelesaikan permasalahan yang mengiringi pernikahan dini bukanlah dengan mengubah hukum bolehnya menikahi anak perempuan.  Tetapi dengan memperbaiki kondisi yang mengantarkan perempuan menuai kemudharatan saat menikah di usia muda.  Bisa juga diupayakan untuk membekali setiap pasangan yang hendak menikah agar berjalannya pernikahan akan memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.

Dalam banyak hal sistem sekuler kapitalisme memang tidak cocok bagi penerapan hukum-hukum Islam.  Meski pernikahan anak perempuan dijamin oleh hukum syariat namun pada prakteknya akan menemui berbagai tantangan.  Kemiskinan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme telah memaksa isteri untuk turut serta menanggung beban ekonomi keluarga yang sejatinya menjadi kewajiban suami.  Saat itulah perempuan banyak yang menjadi objek eksploitasi khususnya dalam dunia kerja.  Demikian pula kekerasan dalam rumah tangga.  Bila ditelusuri lebih dalam, masalah ini juga sangat erat kaitannya dengan kondisi di luar lingkungan rumah tangga.  Stres yang dialami suami karena beratnya beban hidup turut menjadi andil.  Sistem sekuler juga terbukti telah gagal dalam membina perempuan mempersiapkan pernikahan sejak dini.  Kurikulum pendidikan sekuler tidak mampu membentuk generasi yang matang sehingga jikalau mereka memasuki jenjang pernikahan, banyak persoalan yang tidak mampu diatasi.

Dengan demikian, persoalannya sebenarnya terletak pada bagaimana mempersiapkan pemuda dan pemudi agar mereka mampu mengarungi samudera rumah tangga kapanpun mereka menjalaninya.
Di samping itu, tak semua pernikahan anak bermasalah.  Demikian pula, tak semua pernikahan di usia matang tidak menuai persoalan.  Intinya terletak pada kesiapan saat menikah yang harus dipenuhi baik oleh mereka yang masih dini (belia) maupun yang berusia matang.

Persoalan kesiapan menikah tak hanya menjadi penentu retak dan langgengnya bahtera rumah tangga.  Persoalan ini juga penting mengingat maraknya perceraian juga disebabkan oleh lemahnya persiapan sebelum menikah.  Pergaulan bebas muda mudi pun berpeluang menjadi pelarian karena mereka belum memahami konsep pernikahan atau tidak mampu mempersiapkan pernikahan sehingga cenderung menunda pernikahan.  Dari sini penting untuk dipahami hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menikah. 

Mempersiapkan pernikahan sejak dini jauh lebih baik dari pada menunda pernikahan atau membatasi usia pada masa tertentu (misalnya minimal 18 tahun atau 21 tahun).  Sebab, secara fitrah, perempuan sudah memiliki kesiapan biologis untuk menjadi ibu maupun isteri.  Adapun kesiapan mental dapat diupayakan pembentukannya oleh sistem yang baik. 

Pemerintah seharusnya menciptakan sistem pendidikan yang mengarahkan terwujudnya persiapan tersebut.  Dengan kesiapan ini, tak seharusnya pergaulan bebas menjadi pilihan pasangan muda mudi.  Dengan ini pula, tudingan miring pada pelaku nikah dini dapat dieliminir karena mereka tetap mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik.  Tingkat perceraian pun akan bisa diminimalisir karena ketahanan rumah tangga yang telah dibangun.

Solusi menunda usia pernikahan hanya akan menyuburkan pergaulan bebas, termasuk perzinahan di kalangan remaja.  Sebab, mereka yang seharusnya sudah menikah –karena telah memiliki pasangan/calon suami atau isteri terhalang secara sah untuk berumah tangga dan menyalurkan kebutuhannya.  Apalagi dalam sistem kapitalis saat ini, pergaulan remaja sulit dikendalikan dan rangsangan terhadap munculnya naluri seksual begitu banyak.  Hal ini tentu membahayakan remaja.  Bila saja mereka tidak boleh menikah, ke manakah dorongan yang begitu besar itu disalurkan? 

Di samping itu, tertundanya usia pernikahan juga bukan jaminan kehidupan pernikahan berjalan lebih baik.  Sebab, yang dibutuhkan adalah kesiapan meski harus dilakukan sedini mungkin.  Dalam sistem pendidikan kapitalis, remaja cenderung berorientasi kehidupan duniawi, dengan segala kemajuan dan kemodernan yang harus diraih.  Maka alih-alih menunda pernikahan dapat menyiapkan para pemuda dan pemudi untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, bahkan mereka terlanjur terbawa arus materialisme yang diciptakan kapitalisme itu sendiri.  Jika demikian, layakkah usia pernikahan ditunda?  Jadi, menunda pernikahan bukanlah solusi.  Yang harus diutamakan adalah mempersipakan pernikahan.

Persiapan Dini menuju Pernikahan
Berikut ini beberapa poin yang harus dilakukan sejak dini dalam mempersiapkan pernikahan.

Pertama, penguatan aqidah.  Setiap muslim wajib meyakini bahwa Allah SWT berkuasa memampukan hamba-hamba-Nya yang menikah di jalan-Nya.  Ketawakkalnnya kepada Allah SWT juga harus dipupuk sejak dini sebagai bekal menapaki berbagai persoalan kehidupan rumah tangga.  Intinya, kekuatan aqidah menjadi benteng bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.  Aqidah yang kuat juga akan menjaganya untuk tetap menyelesaikan semua persoalannya menurut hukum syariat.

Kedua, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam.  Seorang muslim wajib memahami bahwa menikah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.  Ia bukanlah perjanjian antara orang berlainan jenis untuk hidup bersama.  Pernikahan harus senantiasa dibimbing oleh syariat, baik dalam tata penyelenggaraannya, maupun selama kehidupan pernikahan berlangsung.  Konsep dasar ini akan menentukan orientasi atau tujuan seseorang menikah.  Ia tidak akan mudah melepaskan ikatan pernikahan sebelum Allah berkenan untuk melepaskannya.

Ketiga, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan.  Setiap pasangan yang hendak menikah seharusnya menguasai pemahaman hukum-hukum syariah tentang pernikahan, mulai dari perkara yang harus dilakukan sebelum menikah seperti memilih calon suami/isteri, aturan khitbah, rukun nikah, masalah kehidupan rumah tangga, hak dan kewajiban suami isteri, masalah thalaq, hingga masalah pengasuhan anak dan silaturahmi.

Dengan pemahaman ini, pasangan yang hendak menikah memiliki bekal dan keyakinan bahwa biduk rumah tangga yang dijalaninya akan kokoh karena sudah dibangun berdasarkan ketentuan syariah.  Sang suami telah memilih isteri yang dianjurkan, melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan wali bagi anak-anaknya atau menjadi pemimpin dalam keluarga.  Demikian pula isteri, ia telah menjalankan ketaatannya kepada suaminya, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, atau bersama-sama suami menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabatnya dan lain sebagainya.  Semua itu akan terwujud dengan persiapan yang dilakukan sejak dini.  

Keempat, membina diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam.  Pembinaan kepribadian ini harus dilakukan sejak dini.  Seorang yang berkepribadian Islam akan berusaha mentaati seluruh aturan Allah SWT.  Muslim yang berkepribadian Islam akan bertanggung jawab dan membina diri menjadi calon pemimpin keluarga.  Demikian pula muslimah, ia harus menjaga kehormatannya dan membina diri menjadi calon manager (pengatur) rumah tangga. 

Kepribadian Islam juga akan mengarahkan kecenderungan dan gejolak hawa nafsu seseorang senantiasa mengikuti aturan Allah.  Ia bukanlah orang yang mudah tergoda oleh kecantikan atau ketampanan orang yang bukan pasangannya (suami/isterinya).  Ia pun mampu mengendalikan gejolak emosinya sehingga tetap mampu berpikir jernih untuk mengisi kehidupan rumah tangganya dengan kebaikan.  Kepribadian yang tidak kuat akan mudah meruntuhkan bangunan rumah tangga.  Sayangnya, inilah yang sering terjadi pada pasangan nikah dini saat ini.  Mereka kurang memiliki persiapan dari sisi ini, akibatnya cenderung merusak institusi keluarga yang seharusnya dijaga.

Kelima, penguasaan kesehatan fisik.  Bagaimanapun, perjalanan pernikahan akan berkaitan dengan aktivitas fisik seseorang.  Bagi isteri, ia akan menjalani masa kehamilan dan menyusui.  Oleh karena itu, setiap muslim seharusnya memiliki pemahaman tentang tatacara menjaga organ-organ reproduksinya agar berfungsi dengan baik saat manjalani kehidupan rumah tangga.  Ia harus membiasakan menjaga kesehatan sejak dini sehingga terhindar dari penyakit yang bisa menghalangi fungsi-fungsinya sebagai isteri dan ibu. 

Demikianlah diantara beberapa perkara yang harus disiapkan sebelum menikah.  Siapapun orangnya, baik yang masih belia maupun yang berusia matang, akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangga bila semua persiapan tersebut telah dilakukan. 

Penutup
Hukum syara tentang batasan usia pernikahan sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi.  Nash-nash syariat yang ada maupun fakta kekinian sebenarnya cukup membuktikan bahwa perempuan layak menikah dan berumah tangga meski masih dianggap anak.  Perempuan tidak perlu menunggu usia yang menurut hukum sekuler dikatakan bukan anak-anak lagi ( 18 tahun atau bahkan 21 tahun ke atas).

Adapun alasan yang dikemukakan mereka yang menghendaki ditundanya pernikahan sebenarnya merupakan dampak buruk yang diakibatkan oleh sistem sekuler kapitalis saat ini.  Pernikahan di usia dini dapat terhindar dari segala resiko yang dikhawatirkan jika dipersiapkan dengan baik oleh individu, keluarga, masyarakat maupun negara.

Demikianlah, setiap rumah tangga yang dibangun dengan menetapi hukum syariat akan melahirkan tujuan syariat yang dikehendaki.  Darinya terlahir keturunan yang shalih dan muslih, darinya pula terlahir keluarga yang mampu menopang berjalannya tatanan kehidupan masyarakat yang menjaga amar makruf nahi munkar.

Adapun kesulitan yang sedang dihadapi untuk menyiapkan semua itu mengindikasikan agar seluruh komponen umat berupaya mengganti sistem sekuler saat ini dengan sistem Khilafah Islam.  Karena hanya dalam sistem khilafah Islam saja semua semua hukum-hukum Islam akan sempurna dilaksanakan sehingga tujuan pensyariatannya dapat terealisasi. Semoga kita semua dimudahkan untuk mewujudkannya.  Aamiin ya Robbal ‘Alamiin. []Noor Afeefa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka