Langsung ke konten utama

Kaapitalisme Rumah Tangga

Kapitalisme Rumah Tangga
Oleh : Noor Afeefa
 
PendahuluanMendambakan rumah tangga yang tentram dan harmonis adalah dambaan setiap manusia.  Dan sudah menjadi kebutuhan, ketika seseorang  -secara pribadinya- merasakan kelemahan pada dirinya, ia beralih pada kehidupan rumah tangganya untuk mendapatkan pemenuhan, ketenangan dan kepuasan lahir-batin.  Rumah tangga seakan menjadi benteng terakhir ketika tidak ada satu pun orang lain yang dapat memahami persoalan kehidupan seseorang manusia, baik pihak isteri maupun suami.
 

Bagi muslim, kehidupan rumah tangga tidak semata-mata menjadi alat pemenuhan kepuasan batin karena dampingan isteri/suami serta anak-anak.  Namun, kehidupan rumah tangga adalah medan berjuang untuk menggapai tingkat ketaqwaan kepada Allah SWT atas pelaksanaan kewajiban yang hanya bisa dilakukan dalam kehidupan rumah tangga.  Seperti, ketika suami mencari nafkah untuk keluarganya, ia merasa ridlo karena telah melaksanakan perintah-Nya dengan sebaik-baiknya.  Demikian pula isteri, ketika ia menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya atau melayani suami dengan penuh mengharap ridlo Allah karena pelaksanaan kewajibannya, maka kehidupan rumah tangga akan menjadi sarana menggapai taqwa di sisi Allah.

 

Allah SWT sendiri menyatakan (Q.S. Ar-Ruum : 21) bahwa adanya isteri/suami agar mereka merasa tenang dan tercipta keluarga yang penuh kasih sayang (mawaddah wa rahmah).  Di samping itu, Allah SWT menghendaki agar dengan berumah tangga kita semakin tunduk patuh akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT beserta aturan-Nya.
 

Begitu agung dan indah gambaran yang disampaikan Allah SWT. tersebut.  Namun sayang, tidak semua rumah tangga menggapai apa yang dijanjikan Allah.  Konsep sakinah (ketenangan) memang diperjuangkan oleh sebagian besar rumah tangga muslim, namun sayang terkadang hanya berusia beberapa bulan.  Apalagi ketika anggota keluarga makin bertambah, persoalan makin rumit, maka mawaddah wa rahmah kian luntur.  Harapan membentuk rumah tangga ideal kian jauh dari kenyataan.  Bahkan sebagaiannya gagal menggapai janji mulia itu karena hancurnya bangunan rumah tangga.
 

Apa yang menjadi penyebab utama kehancuran rumah tangga ?  Bisakah hal itu dihindari ?  Dan bagaimana mengatasinya ?  Pertanyaan itu seharusnya mampu dijawab oleh setiap muslim yang tengah membangun kehidupan rumah tangga agar janji Allah SWT. benar-benar terwujud.  Ketidakmampuan menjawab masalah tersebut sering menjadi biang kehancuran rumah tangga. 

Kapitalisme Rumah Tangga Problema kerumah-tanggaan sebenarnya sama dengan problema kehidupan lainnya.  Penyebab dari segala problema kehidupan pada umumnya tidak lepas dari keyakinan atau pandangan hidup seseorang.  JIka kita menilik Al-Qur’an surat Ar-Ruum : 41, Allah SWT  menyatakan (yang artinya) : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. 
 

Ayat di atas menyiratkan bahwa ketika manusia berada di jalan yang salah (yaitu ketika berlepas diri atau tidak tunduk terhadap aturan Sang Pencipta) pastilah kerusakan akan ditimpakan-Nya.  Artinya, problema kehidupan ini, termasuk problema rumah tangga akan muncul ketika manusia berlepas diri dari aturan Allah SWT.  Konsep berlepas diri inilah yang sering disebut dengan sekulerisme.  Pandangan bermakna keengganan manusia untuk diatur dengan aturan Sang Pencipta (Allah SWT) karena lebih mementingkan hawa nafsu.  Dan produk paling laku dari pandangan ini adalah kapitalisme (tolok ukur materi/harta).  Inilah pula yang diyakini sebagai sumber malapetaka dalam rumah tangga.
Idiologi kapitalisme (yang asalnya dari Barat) secara nyata telah merambah kehidupan kaum muslim, apalagi dalam sektor ekonomi.  Ekonomi berbasis kapitalisme (sebagaimana yang dialami Indonesia) telah nyata kebobrokannya.  Ekonomi hanya dikuasai segelintir orang, sementara sebagian besar lainnya tidak mampu mengenyam kehidupan yang layak.  Sayangnya, kita tidak banyak belajar dari kegagalan ekonomi kapitalis.  Padahal tanpa disadari kehidupan ini –termasuk kehidupan rumah tangga- telah terasuki oleh pandangan kapitalisme. 
 

Pandangan kapitalisme mengacu pada idiologi sekulerisme, yang memisahkan agama dari kehidupan.  Artinya, meski sistem ini mengakui keberadaan agama, namun agama dijauhkan dari kehidupan.  Agama kemudian hanya berada pada wilayah privat (individual), tidak pada tataran masyarakat.  Dengan demikian kehidupan lebih banyak diatur oleh peraturan di luar agama (Islam).
 

Kehidupan sekuler melahirkan manusia yang berorientasi pada kemanfaatan jasmani (fisik).  Mereka juga memahami kebahagiaan sebagai upaya manusia untuk mendapatkan kepuasan/kesenangan yang bersifat jasadiyah (fisik).  Sedangkan aspek keruhanian ditempatkan sangat rendah dan hanya ada pada orang-orang tertentu saja yang kebetulan mau meraihnya. 
 

Pada masyarakat seperti ini, yang berkembang adalah pemuasan aspek/nilai-nilai yang bersifat materi.  Tolok ukur baik-buruk pun didasarkan pada kemanfaatan fisik.  Pada kehidupan rumah tangga, misalnya, sering terjadi isteri menilai baik buruknya suami hanya dengan ukuran gaji (besarnya nafkah) yang diberikan.  Bahkan ada pandangan jika gaji isteri lebih besar, maka isterilah yang berwewenang mengatur seluruh urusan termasuk kepemimpinan rumah tangga.  Demikian pula ketika sebuah rumah tangga menilai baik buruknya pendidikan anaknya hanya dengan melihat kualitas iptek tanpa memperhitungkan kualitas pembentukan dan penjagaan aqidah dan akhlak si anak.  Juga, ketika suami membolehkan isterinya bekerja hanya karena pertimbangan ekonomi (memperkaya materi) tanpa mempertimbangkan koridor Syari’at, apakah pekerjaan itu layak untuk wanita, apakah pekerjaannya tidak melalaikan tugasnya sebagai ibu yang harus mendidik anak-anaknya, dll.  Semua itu adalah contoh nyata bergesernya standar kehidupan menuju kapitalisme rumah tangga. 

Pergeseran ini tentu saja tanpa sebab.  Kelemahan aqidah/keimanan adalah penyebab paling utama.  Ketika seorang muslim tidak menyadari bahwa kehidupan ini diciptakan Allah SWT dengan berbagai perangkat peraturan yang menyertainya, maka ia akan mudah melepaskan ikatan aturan tersebut.  Aqidah Islam mengharuskan setiap muslim menyatakan baik buruknya sesuatu berdasarkan kaca mata Allah semata.  Sebab, penilaian manusia sangat relatif dan bisa mengantarkan pada kesalahan.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (TQS. Al-Baqoroh : 216).
 

Rendahnya kualitas keimanan itu pula yang membuat muslim tersebut cepat goncang menghadapi berbagai gangguan dalam kehidupan rumah tangga.  Tak dapat dipungkiri, globalisasi adalah sebuat tuntutan yang pada satu sisi sangat diperlukan dalam lapangan kehidupan, seperti kemajuan iptek.  Namun dampak globalisasi tersebut ternyata cukup menyita tenaga bahkan mampu membelokkan arah pandangan hidup seseorang.  Tuntutan hidup layak yang dibenarkan Syari’at mulai bergeser, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok atau demi penyempurnaan pelaksanaan kewajiban, namun telah mengarah pada kemewahan bahkan kehidupan hedonistik (hura-hura).
 

Serangan budaya Barat justru diterima oleh sebagian rumah tangga muslim sebagai peradaban maju yang layak diikuti.  Pakaian, dunia hiburan dan permainan, gaya hidup bahkan cara berpikir ala Barat ditelan mentah-mentah tanpa menengok Syari’at.  Tentu saja, sebagaimana telah menimpa masyarakat Barat, rumah tangga muslim pun mulai menuai dampak negatifnya.  Muncullah berbagai persoalan dari pasangan hidupnya, atau dari anak-anaknya bahkan dari para tetangganya akibat mengaca pada kehidupan serba materialistik.

Kapitalisme vs IslamKapitalisme pada hakikatnya adalah sebuah idiologi.  Ia menempatkan manusia pada posisi  penentu baik buruknya sesuatu.  Standarnya adalah kemanfaatan yang bersifat materi.  Apapun, bila dalam pandangan manusia bermanfaat secara materi akan diambil.  Sebaliknya, mereka (pengemban idiologi ini) cenderung meninggalkan aspek ruhani yang (dalam pandangan mereka) belum tentu mendatangkan kemanfaatan secara fisik (materi). 
 

Rumah tangga yang dibangun dengan asas ini akan menilai segala sesuatunya dengan kemanfaatan materi semata.  Rumah yang bagus, makanan yang lezat, pakaian yang mengikuti mode jaman, sekolah anak-anak yang mentereng, kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, kepuasan seksual, dunia hiburan dan permainan yang dapat melepaskan kepenatan pekerjaan, dan lain-lain adalah beberapa perkara yang dikejar oleh sebagian besar rumah tangga (tak terkecuali rumah tangga muslim).    Konsekuensinya, apabila perkara tersebut belum terpenuhi, maka mereka akan gelisah, bahkan akan berusaha mencurahkan segala dayanya untuk memenuhinya.  Akibat berikutnya, nilai-nilai ruhiyah kian terpinggirkan.
 

Rumah tangga seperti itu akan mengalami kekalutan berkepanjangan.  Mungkin tujuan berumah tangganya tak bakal kesampaian.  Apalagi bila berkaitan dengan masalah harta yang notabene berhubungan dengan rizki yang menjadi wewenang Allah SWT.  Apakah rumah tangga muslim harus selalu berorientasi pada masalah harta tersebut.  Bagaimana halnya bila ada seseorang yang sedang diuji (oleh Allah) dengan sempitnya rizqi ?  Rumah tangga akan sangat mungkin mengalami kehancuran bila masing-masing anggotanya tidak mengerti betul masalah rizki tersebut.  Kenyataannya pula, aspek ekonomi (masalah harta) termasuk sumber masalah dan konflik yang dominan dalam rumah tangga.  Itu semua terjadi karena kesalahan orientasi dalam menapaki kehidupan rumah tangga.
 

Seorang muslim harus paham betul bahwa pernikahan adalah bagian kecil dari perjalanan hidupnya.  Sebab ia memahami bahwa ada kehidupan yang kekal di akhirat kelak.  Apapun statusnya dalam perjalanan hidup di dunia, seseorang hanya memiliki satu tugas, yaitu mengabdi kepada Allah SWT.  Orientasi hidupnya hanyalah untuk mendapatkan ridlo Allah SWT.  Tidak peduli apakah dengan begitu ia akan mendapatkan keuntungan atau kemanfaatan materi atau tidak.  Ia hanya akan merasa bahagia manakala dirinya telah berada pada jalan yang benar (sesuai aturan Allah SWT).  Dan kebahagiaan tersebut tidak melulu bernilai fisik. 
 

Ini juga bukan berarti rumah tangga muslim tidak diperkenankan mendapatkan nilai materi.  Sebab, pelaksanaan kewajiban juga membutuhkan nilai materi, seperti memberi nafkah kepada keluarga, mendidik anak-anak, dll.  Namun, yang menjadi standar kepuasan seseorang bukan dari sisi besarnya nilai materi.  Namun dari sisi apakah nilai materi yang ia terima –besar maupun kecil- sudah sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT.
 

Seorang muslim juga tidak akan bertindak dan berharap mendapatkan sesuatu sementara Syari’at ternyata melarangnya.  Seorang isteri tidak akan menyuruh suami mencari nafkah yang tidak sesuai aturan Allah.  Ia juga tidak rela membelanjakan harta suami bila ternyata suami memperolehnya dengan cara haram.  Seorang isteri tidak akan bekerja di luar rumah manakala suami tidak mengijinkan.  Suami/isteri pun tidak akan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang tidak mampu menguatkan akidah/keimanan anaknya.  Sebaliknya, suami/isteri hanya berorientasi agar anak-anak mereka menjadi generasi penerus perjuangan (Islam) yang tidak hanya menolong mereka di akhirat namun membawa berkah bagi kaum muslim seluruhnya. 
 

Dengan landasan keimanan, rumah tangga muslim tidak akan berlomba-lomba mencari harta, atau membesarkan rumah dan segala perabotannya.  Namun, mereka akan selalu menjaga diri dan keluarganya dari hal-hal yang dapat merusak akhlak, seperti menjauhkan media massa merusak, juga menjauhkan diri dari segala yang dapat melalaikan dari kewajiban.  Sebaliknya, rumah tangga muslim akan selalu menyibukkan diri dengan aktivitas meninggikan kebenaran, baik di dalam rumah tangga maupun di masyarakat.
 

Rumah tangga muslim juga tidak pernah ‘keder’ dengan gaya hidup masyarakat pada umumnya yang serba materialistik.  Ia akan merasa rela dan tentram meski hidup dalam kesederhanaan asalkan berada pada jalan yang benar (menurut Islam).

Membangun Rumah Tangga Berasas Islam 

Islam mengharuskan setiap penganutnya untuk senantiasa terikat dengan aturan Islam dalan seluruh aspek kehidupan, baik menyangkut kehidupan pribadi, keluarga, maupun bermasyarakat.   Kerterikatan pada hukum Allah SWT tersebut semata-mata merupakan konsekuensi atas persaksian kita kepada Allah yang wajib disembah dan diambil peraturan hidupnya serta kepada Rasulullah SAW yang menjadi penyampai risalah sekaligus panutan dan teladan bagi kehidupan manusia.
 

Seseorang belum dikatakan sempurna keimanannya sebelum menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai patokan dalam menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia, termask kehidupan rumah tangga.  Ini berarti, seorang muslim tidak boleh sedikitpun berpaling dari aturan Allah SWT dalam membangun rumah tangga.  Inilah yang dimaksud menjadikan Islam sebagai asas dalam membangun rumah tangga.
 

Rumah tangga berasas Islam menjadikan tiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh Allah SWT.  Pelaksanaan atas hak dan kewajiban tersebut menjamin teraihnya tujuan pernikahan itu sendiri.  Apalagi bila tiap anggota keluarga menyadari betul tentang tujuan dari segala tujuan beramal, yaitu mencari ridlo Allah SWT.  Maka tidak ada satu pun kesempatan yang digunakan untuk melakukan aktivitas yang tidak diridloi-Nya.
 

Gaya hidup Barat yang selama ini banyak menjadi panutan rumah tangga muslim harus dijauhi.  Sebab, peradaban Barat sangat bertentangan dengan peradaban Islam secara diametral.  Kehidupan yang diukur secara materi adalah ciri khas peradaban Barat tersebut.  Maka, kaum muslim terlarang mengambilnya.
 

Membangun rumah tangga Islami tentu bukan perkara gampang.  Terwujudnya cita-cita mulia ini mengharuskan kerja bareng semua komponen penopang masyarakat.  Setiap individu anggota rumah tangga harus menyadari betul hak dan kewajibannya menurut Syari’at.  Sebab, ini adalah benteng pertama pembentukan rumah tangga Islami.  Penopang berikutnya adalah adanya kontrol masyarakat.  Artinya, masyarakat juga harus berperan aktif menjaga atmosfer kehidupan rumah tangga.  Sanksi moral dan sikap melindungi diri terhadap segala hal yang dapat mengganggu berlangsungnya kehidupan rumah tangga seharusnya dilakukan masyarakat. 
 

Adapun penopang terakhir adalah negara.  Bagaimana pun kehidupan rumah tangga tak dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan penguasa.  Persoalan rumah tangga justru kerap muncul sebagai dampak dari ulah penguasa.  Misalnya, kesulitan ekonomi yang diakibatkan kesalahan managerial penguasa/negara terhadap perekonomian dapat memicu konflik dalam rumah tangga.  Pengangguran, harga barang-barang kebutuhan rumah tangga yang melambung, kesulitan memberikan pendidikan pada anak karena biaya pendidikan mahal, hingga kerusakan akhlak anggota keluarga adalah contoh paling kongkrit pengaruh kebijakan penguasa terhadap kehidupan rumah tangga.  Oleh karena itu, penguasa harus menerapkan peraturan yang menjamin terwujudnya keluarga/rumah tangga Islami.  Peraturan tersebut  telah tertuang secara jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian dijabarkan melalui penggalian hukum oleh para mujtahid.
 

Meski tidak mudah, terwujudnya kehidupan rumah tangga Islami tentu bukanlah mimpi.  Memang, tak ada rumah tangga tanpa masalah, namun rumah tangga Islami akan memiliki imunitas lebih kuat dalam menghadapi berbagai penyakit dan gangguan.  Pada akhirnya, serangan sekulerisme-kapitalisme seberapa pun kuatnya dihembuskan Barat, tidak akan mampu menembus benteng rumah tangga Islami.
   
PenutupSudah saatnya kita mewaspadai masuknya sekulerisme-kapitalisme ke keluarga/rumah tangga.  Dan bila masalah ini dibiarkan maka akan mengakibatkan rusaknya tatanan masyarakat yang lebih besar.  Kunci untuk menghadapi masalah ini sebenarnya sederhana, yaitu dengan mengembalikan Islam dalam setiap sendi kehidupan kita.  Jadi, kembali pada penerapan syari’at Islam kaffah akan menjamin rumah tangga muslim terlindungi dari jerat sekulerisme.

 
Di sinilah relevansi antara upaya penerapan Islam secara total di masyarakat dengan upaya mengatasi kapitalisme rumah tangga.  Sebab, Islam hanya akan menjadi rahmat bila diterapkan secara praktis/nyata dalam kehidupan bersistem Islam (khilafah Islamiyyah).  Wallaahu A'lamu.  []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka