Langsung ke konten utama

Pendidikan Vokasi Menjerat Pemuda untuk Kepentingan Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme yang serba sulit ini (merebaknya kemiskinan, pengangguran, dll.), para pemuda dihadapkan pada pilihan sulit dalam menempuh jalur pendidikan. Sebagian akhirnya memilih pendidikan vokasi karena iming-iming mendapatkan pekerjaan lebih mudah.

Di sisi lain, kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), khususnya di bidang vokasi, makin digencarkan. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menggelontorkan sejumlah dana besar bagi program revitalisasi pendidikan vokasi. Proyek utamanya adalah link and match yang mengawinkan dunia usaha dan industri (DUDI) dengan pendidikan vokasi, baik di tingkat SMK maupun kampus vokasi.

Skema matching fund (dana pemadanan) membuat dunia industri makin antusias melebarkan sayapnya di dunia pendidikan. Mereka seakan mendapatkan amunisi, tidak perlu repot karena telah memiliki pabrik SDM (sumber tenaga kerja) bagi pengembangan industrinya sesuai kebutuhan.

Secara tidak sadar, inilah kondisi yang sebenarnya menjerat pemuda sekarang. Potensi intelektual mereka tengah disedot habis-habisan bagi keberlangsungan kapitalisme melalui hilirisasi yang dilakukan industri korporasi yang kini merajai perekonomian. Mirisnya, kondisi ini justru didukung penuh oleh negara melalui kebijakan-kebijakannya yang dianggap populis, yakni MBKM.

Bonus demografi, tingginya angka pengangguran, capaian pertumbuhan ekonomi, bahkan disrupsi teknologi yang kerap melatarbelakangi berbagai kebijakan pemerintah bidang pendidikan, apakah dapat terselesaikan dengan proyek revitalisasi pendidikan vokasi yang menyedot energi pemuda? Benarkah para pemuda bisa menyelamatkan negeri, membawa kemaslahatan dan kemajuan bagi perekonomian bangsa? Mampukah mereka mengarahkan bangsa ini dengan kepemimpinan sahih menuju kemajuan hakiki?

Mari lihat faktanya! Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran terbuka per Februari 2022 sebanyak 8,40 juta orang atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,83% dengan lulusan SMK jadi yang terbanyak daripada jenjang pendidikan lainnya. Sementara itu, persentase lulusan pendidikan tinggi vokasi yang dalam setahun mendapatkan pekerjaan hanya mencapai 50,16% (capaian 2021).[1]

Ini menunjukkan bahwa berbagai persoalan di atas memang tidak relevan dengan proyek revitalisasi pendidikan vokasi. Bahkan, yang terjadi adalah kapitalisme yang makin menunjukkan keborokannya dengan datangnya gelombang PHK yang terus membesar; sebuah kondisi sosial ekonomi yang makin rusak. Adapun pemuda hanya diposisikan untuk menambal kebobrokan itu agar kapitalisme makin eksis.

Kebebasan memiliki (berekonomi) yang diusung sistem rusak ini juga makin menyuburkan oligarki hingga merusak tatanan bernegara. Negara jadi tidak berdaya. Pendidikan pun menjadi tumbal. Para pemuda yang sebenarnya berpotensi ini mandul ditelan jahatnya kapitalisme melalui tangan-tangan korporasi.

Wajar jika program revitalisasi pendidikan vokasi dalam sistem kapitalisme tidak akan menjawab semua problem di atas. Semua problem tersebut merupakan problem sistemis yang tidak bisa dan tidak boleh diselesaikan melalui pendekatan pendidikan. Hal ini hanya akan memalingkan fungsi penting pendidikan sebagai sarana membentuk kepemimpinan bagi manusia (mewujudkan abdullah dan khalifatullah fil ardh).

Orientasi Profit

Penyelenggaraan pendidikan dalam sistem kapitalisme juga keliru dalam mendudukkan ilmu, khususnya ilmu-ilmu terapan (vokasi). Ilmu (pengetahuan) dipandang sebagai faktor produksi. Konsep Barat ini, yakni knowledge-based economy (KBE) mengharuskan pendidikan berorientasi profit (materi). 

Pendidikan vokasi yang pada asalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan ilmu-ilmu terapan, menjadi lebih berorientasi pasar kerja (menghasilkan uang). Sedangkan sektor industri dan usaha merupakan bagian yang saat ini dianggap paling strategis menyerap pasar kerja. Inilah sebab link and match pendidikan vokasi ditujukan bagi dunia usaha dan industri.

Akhirnya, bidang vokasional dikembangkan mengikuti permintaan pasar kapitalistik. Para pemuda pun lebih menaruh minatnya pada bidang-bidang semacam teknologi informasi dan komunikasi, multimedia, pariwisata, periklanan, seni dan industri kreatif, bisnis dan manajemen, teknik dan teknologi, dan sebagainya. Ini karena bidang-bidang inilah yang saat ini paling mendatangkan profit (paling banyak diserap sektor industri). Dampaknya tentu sudah dirasakan saat ini, yakni pertumbuhan ekonomi yang kapitalistik dan kehidupan sosial yang jauh dari keluhuran sebuah masyarakat.

Kurikulum Sekuler

Dalam bingkai tata kelola pendidikan dan negara sekuler, pendidikan vokasi juga diselenggarakan dengan kurikulum sekuler. Ini mengakibatkan siswa maupun mahasiswa kering (minim) dalam pembentukan kepribadian Islamnya. Tidak jarang, ilmu-ilmu yang mereka dapat tidak dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau mendorong berkembangnya peradaban luhur (Islam). Mereka bahkan menjual ilmunya demi keuntungan duniawi.

Mari kita tengok sebagian produk yang mereka hasilkan dan rupanya mendapat sambutan “positif”, seperti fesyen, permainan, aplikasi hiburan, fotografi, drama dan perfilman, tata rias artistik, makanan olahan kekinian, dan sebagainya. Semua ini digeluti karena bertumpu pada selera pasar yang kapitalistik, bukan pada apa yang seharusnya ada (kebutuhan) di masyarakat berdasarkan syariat.

Ini terjadi karena mereka tidak memiliki standar berbuat secara benar. Kepribadian mereka kacau, tidak sesuai dengan Islam. Inilah buah dari kurikulum sekuler pada pendidikan vokasi Dengan kondisi ini, tentu tidak bisa diharapkan kepemimpinan bangsa diserahkan kepada para pemuda seperti ini. Kepemimpinan butuh visi misi sahih tentang kehidupan (sesuai akidah Islam).

Mahal, tetapi Tidak Produktif

Harus diakui, biaya pendidikan vokasi memang mahal. Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Kiki Yuliati pun mengaku tentang minimnya keberadaan sekolah maupun perguruan tinggi vokasi di Indonesia dibandingkan dengan sekolah atau perguruan tinggi umum. Katanya, ini tidak lepas dari biaya pembangunannya yang mahal, terutama terkait banyaknya sarana dan prasarana pendukung yang tidak murah. Sebagaimana diketahui, dalam pendidikan vokasi hampir 70 persennya merupakan praktik, sedangkan sisanya teori.

Di samping itu, siswa SMK juga harus menanggung biaya sertifikasi yang relatif tinggi. Ini tentu menambah beban lebih bagi siapa pun yang ingin menempuh pendidikan vokasi. Harapan meningkatkan kesejahteraan pun makin jauh karena modal belajar yang tidak murah.

Demikianlah, para pemuda harus merogoh kocek tidak sedikit. Padahal pada faktanya, apa yang mereka hasilkan ternyata tidak juga optimal. Upahnya tetap minim, pun minim kesempatan untuk menjadi manajer (pengelola) karena kanalnya lebih banyak terserap industri yang dirajai korporasi. Sementara itu, untuk mengembangkan ilmunya di instansi pemerintah atau masyarakat juga amat terbatas. Jika pun hendak berwirausaha, iklimnya tidak kondusif. Akhirnya sebagian harus menganggur.

Parahnya lagi, mereka juga harus berhadapan dengan tenaga kerja asing yang memperebutkan lapangan kerja di dalam negeri. Padahal, regulasi ketenagakerjaan kapitalistik saat ini begitu longgar. Mereka pun makin tersisih. Lantas, ke mana semua potensi pemuda itu? Hilang!

Melepaskan Jerat

Miris, tidak banyak pemuda yang menyadari jerat tersebut. Namun, kondisi tersebut tentu harus segera diubah. Para pemuda harus mengembalikan potensinya jika tidak ingin terus diperalat. Apa yang harus dilakukan?

Pertama, para pemuda harus benar-benar memahami filosofi dasar menuntut ilmu. Sebagai sebuah kewajiban, pemuda harus mendasarkan pendidikannya bagi kemuliaan ilmu, yakni sarana untuk menjadi hamba Allah yang taat (abdullah) dan memperkuat kemampuannya (kompetensinya) dalam mengelola bumi bagi kemaslahatan seluruh umat manusia (fungsi khalifatullah fil ardh). Hal ini harus menjadi target dalam proses pendidikannya agar potensi keilmuan vokasinya bermanfaat bagi umat, bukan bagi kelanggengan kapitalisme.

Kedua, para pemuda harus memiliki kesadaran politik Islam, sadar bahwa kapitalisme adalah biang kerusakan sehingga segala hal yang mendukung eksistensi kapitalisme harus dihilangkan. Problem kemiskinan, sempitnya lapangan kerja (pengangguran), disrupsi teknologi yang berimbas pada berbagai problem sosial, hanyalah buah dari tata kelola negara yang menyimpang dari Islam. Dengan demikian, pemuda harus membangun kesadaran politik Islam dan tidak terbawa arus, seberat apa pun beban kehidupan saat ini.

Kesadaran politik tersebut akhirnya akan mengantarkan pemuda untuk beramar makruf nahi mungkar atas berbagai kekeliruan kebijakan negara, khususnya dalam pendidikan vokasi. Dalam Islam, negara wajib bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pendidikan, termasuk vokasi. Negara tidak boleh bergantung pada swasta, apalagi DUDI hanya demi mendongkrak pertumbuhan, mengatasi sempitnya lapangan kerja, dan sebagainya hingga mengorbankan fungsi penting pendidikan.

Fungsi penting pendidikan vokasi harus dikembalikan sesuai syariat Islam, yakni sebagai salah satu sarana menghasilkan SDM ahli bidang terapan yang mendukung berjalannya fungsi negara dalam mengelola semua urusan (sektor kehidupan) masyarakat agar berjalan dengan baik.

Ketiga, seluruh masyarakat harus memperjuangkan tegaknya sistem pendidikan Islam (dan sistem Khilafah Islam tentunya). Ini penting untuk menyelamatkan pemuda dari kehancuran sekaligus mengoptimalkan potensi pemuda di bidang ilmu-ilmu terapan untuk membangun peradaban mulia.

Khatimah

Pendidikan merupakan sektor vital dalam memformat jati diri pemuda. Oleh karenanya, persoalan ini menjadi amat penting. Jika kesadaran politik akan jerat pendidikan vokasi kapitalistik ini telah terbentuk, perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam pun selangkah lebih mudah. Semoga Khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah itu segera terwujud. [] Penulis: Noor Afeefa

[1] https://www.vokasi.kemdikbud.go.id/storage/document/June2022/0lf4e3VTjChl0yU7pYsg.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam...

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan....
Penyimpangan Seksual, Bukti Lemahnya Dogma Gereja Katolik Oleh: Noor Afeefa Komite Hak Asasi Manusia PBB akhirnya mengeluarkan kecaman keras kepada Vatikan dan menuduh bahwa Vatikan mengadopsi kebijakan yang memungkinkan pastor memperkosa dan mencabuli ribuan anak-anak (voa-Islam, 6/2/2014). Sebelumnya, Gereja Katolik telah menghadapi banyak tuduhan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh pastor di seluruh dunia dan mendapatkan kritik karena keuskupan tidak memberikan reaksi yang memadai (BBC, 16/1/2014). Tak hanya penyimpangan seksual kepada anak-anak, beberapa waktu lalu, seorang biarawati asal Salvador kedapatan melahirkan bayi.  Meski ayah dari bayi itu masih misterius, namun sang bayi akhirnya dinamai dengan Francesco (Francis), nama yang sama dengan titel untuk Paus dan salah satu nama yang paling populer di Italia (Islampos, 20/01/2014). Masalah penyimpangan seksual yang dilakukan sejumlah pendeta dan uskup di berbagai negara sebenarnya tel...