Perang melawan radikalisme kian
kebablasan. Kurikulum pendidikan khususnya
pendidikan agama dianggap sebagai alat paling ampuh untuk mengubah pemahaman
yang dianggap radikal. Keinginan
merevisi kurikulum pendidikan pun telah lama ada. Sebagian proyeknya bahkan sudah dijalankan
pemerintah.
Namun, ada usulan
yang sangat nyeleneh. Kali ini disampaikan
oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU), KH Said Aqil Sirodj. Ia mendesak agar kurikulum pendidikan agama
dikaji lagi. Ia juga mengusulkan
agar bab tentang sejarah yang dominan hanya menceritakan perang dikurangi
porsinya (republika.co.id, 30 Juli
2018).
Ia menyatakan
tentang banyaknya materi dalam pendidikan agama yang menceritakan perang-perang
yang dilakukan Rasulullah Saw. seperti Perang Badar, Perang Uhud dan
sebagainya. Dan menurutnya, materi
itulah yang menyebabkan siswa menjadi radikal.
Sebab, ayat-ayat perang sering disalahartikan oleh beberapa pihak. Karenanya, ia mengajukan usulan agar porsi
materi tentang sejarah perang (jihad) dikurangi.
Tentu saja, usulan
ini harus ditolak. Pernyataan Ketua PBNU
ini ibarat memadamkan api dengan bensin, sangat tidak masuk akal dan berbahaya. Bahaya inilah yang bisa menjadikan umat makin
terjebak pada persoalan yang lebih besar.
Sebab, ia menganggap ajaran Islamlah (sejarah perang Rasulullah Saw.) yang
menginspirasi radikalisme sehingga perlu diseleksi mana ajaran yang layak
disampaikan kepada siswa dan mana yang tidak layak. Dampak lanjutan pun akan menimpa para siswa
dan umat Islam seluruhnya.
Ajaran Islam Terancam
Memilih-milih
ajaran Islam dalam pendidikan sangat berbahaya.
Sebab, hal itu berarti telah menyembunyikan (jika tidak disebut
menghilangkan) sebagian ajaran Islam yang sempurna. Pun sudah sangat dipahami bahwa kemuliaan
Islam hanya muncul ketika ajaran Islam secara keseluruhannya diterima dan
diamalkan dalam kehidupan. Jika ada satu
saja yang ditinggalkan maka keberkahan pun akan tertahan.
Yang menjadi
persoalan sebenarnya bukan pada keberadaan materi (sejarah perang Rasulullah Saw.)
sebagai bagian dari kurikulum pendidikan yang harus diberikan kepada
siswa. Bagaimana pun kondisinya, umat
Islam -apalagi anak-anak dan generasi muda- harus memahami sejarah kehidupan
Nabi Saw. dari kecil hingga wafatnya.
Semua itu adalah pelajaran yang sangat berguna, di samping sebagai
kewajiban yang harus diteladani.
Tak bisa
dipungkiri bahwa keberadaan materi sejarah perang Rasulullah Saw. sudah lama
ada dalam kurikulum pendidikan agama.
Dan selama itu tak pernah memberikan pengaruh buruk sebagaimana yang
dikhawatirkan sekarang.
Sejak dulu umat Islam
mempelajari sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. tanpa pengurangan sedikit
pun. Mereka pun tak pernah dikenal
sebagai umat yang mencintai kekerasan, apalagi bergelar radikal sebagaimana
yang biasa dituduhkan kepada sekelompok umat Islam saat ini. Bahkan sebaliknya,
umat terdahulu mampu menghadirkan Islam yang rahmatan
lil ‘alamin. Mereka mampu meninggikan kemuliaan Islam di
antara bangsa-bangsa lain tanpa penindasan.
Kekhawatiran Said
Aqil sangat tidak mendasar. Sebab,
hal itu berarti menuduh ajaran islam sebagai sumber kekerasan dan kerusakan. Bukankah
persoalannya pada tafsir atas semua ajaran Islam, bukan pada ajaran itu
sendiri. Sebab, ajaran Islam, terlebih
sejarah perjuangan Rasulullah Saw. adalah contoh peri kehidupan agung yang
harus menjadi inspirasi dan pedoman bagi kehidupan setiap muslim.
Jika umat
berpegang pada tafsir yang mu’tabar -tentang ayat-ayat jihad misalnya- dan
kitab-kitab siroh yang terpercaya, pun tak akan mendorong mereka
radikal. Sebab, Islam memang tidak
mengajarkan semua itu.
Ada apa dengan
ayat-ayat jihad dan sejarah perang Rasulullah Saw? Benarkah ia seseram yang dikhawatirkan para
pengusung Islamopobhia. Sehingga dengan
alasan itu ia layak untuk ditutupi bahkan dibuang dari khasanah keilmuwan. Bagaimana pun, sejarah kehidupan Rasulullah Saw.
adalah bagian dari ajaran Islam. Maka
menghilangkan (menutupi) sebagian dari sejarah Rasulullah Saw. berarti telah
mengamputasi sebagian ajaran Islam yang sempurna.
Bagaimana pula jika
akhirnya generasi umat Islam tidak lagi mengenal sejarah Perang Nabi Saw. dan
ayat-ayat jihad. Lalu mereka asing
tentang itu semua bahkan menganggap bahwa itu semua bukan berasal dari Islam
karena tak pernah mereka pelajari sebelumnya di bangku sekolah. Bukankah sikap seperti itu akan mengubah
orisinalitas ajaran Islam. Ajaran Islam
yang sejati menjadi tak dikenal. Tentu
ini sangat berbahaya.
Demikian pula,
menghalangi sampainya ajaran Islam kepada siswa (para penuntut ilmu) hakikatnya
sama dengan menyembunyikan ilmu. Padahal
ilmu-ilmu tersebut sangat penting. Umat
Islam selayaknya memperhatikan peringatan Allah SWT yang ditujukan kepada Kaum
Yahudi yang gemar menyembunyikan ilmu dan petunjuk Allah dari manusia. Allah SWT berfiman yang artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati” (TQS. Al Baqarah [2]:159)
Celaan Allah SWT
tersebut selayaknya menjadi perhatian umat Islam untuk tidak sedikit pun
mengikuti perilaku Kaum Yahudi yang terlaknat.
Sebab, jika mereka akhirnya mendapat azab dari Allah, maka umat Islam
pun akan beroleh kerugian jika tidak menyampaikan ajaran Islam dan semua
petunjuk dari Allah SWT, termasuk sejarah peri kehidupan Nabi Saw. Oleh karena itu, tak ada alasan apapun untuk
menghalangi para siswa mempelajari semua sejarah perang Rasulullah Saw.
Kurikulum Pendidikan
Islam
Pendidikan dalam
Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam, yaitu menghasilkan manusia yang
memiliki pola pikir Islami dan pola sikap Islami sehingga berperilaku sesuai
ajaran Islam. Di samping itu, pendidikan
juga bertujuan membentuk pribadi yang menguasai tsaqofah Islam dan ilmu-ilmu
kehidupan. Kurikulum disusun agar semua
tujuan tersebut terwujud, melalui materi (bahan) ajar, metode dan sarana
pengajaran yang benar.
Salah satu materi
pengajaran yang wajib adalah penanaman tsaqofah Islam, baik melalui akidah,
fiqh, akhlak, sejarah dan sebagainya.
Semua itu harus diberikan kepada siswa hingga terakumulasi menjadi
pribadi yang kuat keyakinannya, taat pada aturan Allah, berakhlak mulia dan
menguasai ilmu kehidupan (termasuk saintek).
Penyampaian
tsaqofah Islam haruslah memberikan gambaran Islam secara utuh sehingga
membentuk pribadi yang utuh tidak kacau.
Mereka bukanlah orang paham ilmu tapi tidak mengamalkan ilmu. Bukan pula yang pandai dan mendapatkan nilai
tertinggi di kelas namun berperilaku buruk.
Memang, dengan
keterbatasan waktu, maka tidak bisa semua materi Islam sanggup dipelajari siswa
di bangku sekolah. Tentunya, perkara yang penting terkait
tujuan pendidikan harus mendapat perhatian lebih, tak terkecuali materi sejarah Islam (hingga perang-perang yang dilakukan
Nabi Saw.).
Materi tentang jihad sangat baik disampaikan kepada siswa
untuk memberikan gambaran perjuangan Nabi Saw. yang tidak mudah. Harapannya
generasi muda muslim mau membela agama ini dengan pengorbanan yang tinggi
bahkan dengan nyawa. Materi seperti ini sangat penting,
terlebih bagi umat Islam yang
merasakan penindasan penjajah. Jika
bukan karena mengingat perjuangan Nabi,
semangat membela tanah air para pejuang kemerdekaan dahulu tak sehebat itu. Mereka berjuang karena Allah SWT buah
pendidikan agama yang mereka peroleh.
Lantas, apakah
saat ini ketika Indonesia tidak lagi dijajah secara fisik, lantas tidak lagi
memerlukan pemahaman tentang perang (jihad)?
Sungguh, ayat-ayat perang maupun sejarah perang umat Islam dahulu tak pernah membuat masalah. Pun
tidak bisa dianggap sebagai biang radikalisme saat ini.
Radikalisme
tidak muncul karena pemahaman tentang jihad yang keliru saja. Tetapi juga karena kondisi umat yang terpuruk dan tertindas
musuh (orang kafir) sehingga menjadi
santapan lezat mereka. Radikalisme
bahkan menjadi jargon (alat) yang diciptakan musuh Islam untuk
mencerai-beraikan umat Islam. Jadi tak
ada hubungannya antara kurikulum pendidikan agama dengan radikalisme. Ajaran Islam bukanlah sumber
kekerasan.
Dengan demikian,
kurikulum pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian Islam sangat
dibutuhkan. Di tengah persoalan dunia
remaja yang makin mengkhawatirkan, kurikulum pendidikan agama yang mampu
mengarahkan siswanya terikat dengan aturan Islam tentu sangat diperlukan.
Miris sekali, hanya
berselang dua hari dari munculnya pernyataan ketua PBNU itu, terjadi tawuran
berdarah dua kelompok siswa SMK di Serpong (31/07/2018). Videonya bahkan viral di media sosial. Di tempat lain, siswa SMP di Bogor tewas
mengenaskan, juga akibat tawuran (1/08/2018).
Sungguh, dunia pendidikan di negeri ini tengah dipertaruhkan sebagai
ujung tombak penyelamat generasi. Jika
masih banyak siswa yang terjebak perilaku tawuran (perkelahian), tentu
kurikulum pendidikan layak disorot.
Mengapa pendidikan di sekolah bisa mengantarkan sebagian siswa meraih
prestasinya -bahkan hingga tingkat internasional, namun, gagal mencegah tawuran
pelajar?
Tidakkah
pendidikan agama sangat penting untuk menyelesaikan itu semua. Pemahaman yang benar terhadap sejarah perang
Rasulullah Saw. sesungguhnya memiliki pesan cinta yang amat kuat. Siapa pun yang memahaminya dengan benar,
pastilah ia termasuk orang yang sangat menghargai hidup. Ia tak akan berani berkelahi atau tawuran
karena egositik pribadi (ashobiyah sekolah, dendam pribadi atau pun
kebanggaan semu). Jika saja para pelajar
berjiwa sebagaimana jiwa para mujahid perang Badar, niscaya mereka akan
mengerahkan segenap tenaga, pikiran dan kebanggaannya untuk kemajuan Islam.
Mereka tak rela darahnya tertetes sedikit pun kecuali karena menyebut nama
Allah, yaitu saat berjihad melawan orang-orang kafir, bukan mencederai sesama
muslim.
Maka, sungguh
sangat tidak masuk akal jika para siswa dijauhkan dari sejarah kehidupan Nabi
Saw. yang mulia dan penuh hikmah, termasuk sejarah perang Beliau. Tidakkah seharusnya, kita memikirkan
bagaimana membumikan seluruh peri kehidupan Nabi Saw. tersebut agar generasi
umat Islam menjadi generasi yang berkepribadian Islam, kuat dan mampu memajukan
negeri ini. Inilah persoalan
sesunguhnya.
Di sisi lain, Islam
memerintahkan Negara melayani kebutuhan warga negaranya, termasuk pendidikan.
Terlebih, pendidikan adalah kebutuhan asasi manusia. Oleh karena itu, Negara wajib hadir dengan
menerapkan sistem pendidikan Islam. Kewajiban
ini tak bisa diabaikan hanya karena kepentingan sepihak. Dalam sistem sekuler kapitalis saat ini,
pengabaian tanggung jawab negara kerap terjadi.
Bahkan untuk proyek deradikalisasi yang sering bersinggungan dengan
kepentingan umat Islam pun, negara berani bertaruh.
Tentu, inilah PR
bersama umat Islam. Selayaknya umat
memikirkan bagaimana merealisasikan seluruh ajaran Islam -termasuk sistem
pendidikan Islam- agar generasi ini selamat.
Di sinilah urgensi perjuangan menegakkan Khilafah Islam. Sebab, Khilafah
akan menerapkan seluruh ajaran Islam secara kaffah. []
Penulis : Noor Afeefa (Pegiat Pendidikan, Pemerhati Kemaslahatan dan Kebijakan Publik)
Penulis : Noor Afeefa (Pegiat Pendidikan, Pemerhati Kemaslahatan dan Kebijakan Publik)
Komentar
Posting Komentar