Kehidupan sekuler
kapitalistik membawa tantangan tersendiri dalam proses pendidikan anak. Era
digital pun begitu cepat mempengaruhi pola pikiran anak. Kondisi yang dihadapi anak menjadi sangat kompleks
dan berat. Kemewahan dan kesenangan semu
lebih menarik bagi anak dibandingkan idealisme yang berat.
Pada usia anak
yang sudah mulai memiliki keinginan sendiri, tak jarang orang tua dibuat pusing. Orang tua kerap berhadapan dengan berbagai
keinginan anak yang tidak sesuai harapannya.
Masalah penampilan, memilih kegiatan di sela-sela waktu senggangnya, menentukan
cita-cita, memilih jurusan atau lembaga pendidikan tertentu dan lain sebagainya
adalah beberapa contoh yang membuat orang tua was-was; khawatir anaknya salah memilih
jalan.
Menghadapi hal itu, tak jarang orang tua terjebak pada perselisihan perkara sepele hingga membuat hubungan keduanya merenggang. Ada yang hanya gara-gara potongan rambut (anak laki-laki) misalnya, orang tua dan anak menjadi bermusuhan. Di sisi lain, ada pula orang tua yang cenderung menghindari konflik dengan membebaskan keinginan anaknya, berharap akan makin melejitkan potensinya. Namun, alih-alih melejitkan potensi, anak malah kadang mengambil kesempatan itu untuk melakukan aktivitas yang semata-mata menyenangkan dirinya, jauh dari manfaat, bahkan hingga keluar dari koridor syariah.
Di sini orang tua tentu membutuhkan panduan dalam mendudukkan harapannya dengan kondisi anak. Ada beberapa hal yang bisa dipersiapkan orang tua bagi anaknya sehingga harapan orang tua bisa sejalan dengan kondisi anak. Memahami perkara ini tentu sangat penting agar orang tua tak kehilangan momentum untuk mendidik anaknya dengan baik.
Tak ada orang tua
yang menghendaki anaknya jatuh pada kehinaan.
Orang tua yang sudah terbiasa terlibat dalam aktivitas dakwah, misalnya,
tentu menghendaki anaknya menekuni aktivitas yang sama, bahkan dengan kualitas lebih
baik. Semua orang tua pun menghendaki
masa depan anaknya lebih baik, baik secara kepribadian (syakhsiyah)
maupun materi (madiyah). Semua
itu adalah perkara yang lumrah, bahkan harus dipelihara agar orang tua
senantiasa bertanggung jawab atas amanah mendidik anak.
Namun, orang tua perlu mengetahui perihal berbagai harapan atau keinginan tersebut. Orang tua harus mampu memilah, manakah harapan yang sifatnya baku (harus terwujud) dan manakah yang tidak baku (tidak harus dipenuhi oleh anak). Hal ini sangat penting supaya orang tua tidak terjebak pada aktivitas sia-sia dan menghabiskan energi dalam mendidik anak. Pemilahan tersebut tentu saja distandarkan pada hukum syara.
Adalah hal yang benar jika orang tua berharap menjadikan anak sebagai
pengemban dakwah atau orang yang faqih dalam agama sebagai harapan baku (yang
harus dipenuhi) bagi anaknya. Sementara
harapan yang tidak baku misalnya masalah profesi anak di kemudian hari,
cita-cita, pengembangan minat dan sejenisnya.
Perkara yang dianggap baku selayaknya tidak terkait dengan potensi dasar
anak, sehingga setiap anak pada dasarnya mampu meraih harapan itu. Tinggal membutuhkan dampingan dan arahan dari
orang tua. Sedangkan untuk perkara tidak
baku biasanya berkaitan dengan kondisi dan potensi dasar anak (kemampuan indera,
minat, lingkungan dan sejenisnya).
Kebijaksanaan
orang tua dalam memilah harapan yang baku dan tidak baku akan mengurangi
ketegangan yang mungkin timbul ketika kedua belah pihak berkomunikasi. Sebab, kondisi anak bisa berbeda-beda. Ia tumbuh dengan potensi penciptaannya dan berkembang
mengikuti lingkungan dan masanya yang berbeda dari orang tuanya.
Dan semua itu hanya memerlukan arahan dari orang tua sehingga apapun
pilihan anak tetap berada pada koridor syariah.
Standar dalam Memilih
Di tengah harapan
orang tua, mempersiapkan anak untuk memiliki standar dalam memilih adalah
perkara penting. Anak harus dididik
untuk mempunyai standar yang benar dalam berbuat dan memilih apapun. Beberapa standar tersebut diantaranya:
Pertama, menyelamatkan akidah. Apapun keinginan anak (dan tentunya juga
harapan orang tua), ia haruslah perkara yang tidak menjauhkan dari keimanan. Sebaliknya, anak harus dididik untuk hanya
memilih perkara yang akan menguatkan hubungannya dengan Allah SWT. Membiasakan anak untuk tidak memilih aktivitas
menjauhkan keimanan harus selalu ditumbuhkan sejak dini. Dan orang tua harus tegas dalam masalah
ini. Misalnya, tidak mengizinkan anak
keluar rumah pada saat akan memasuki waktu sholat fardu. Anak harus diajak untuk menghargai waktu
beribadah, sebagai salah satu bentuk kebajikan di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman:
۞Ù„َّÙŠۡسَ ٱلۡبِرَّ Ø£َÙ† تُÙˆَÙ„ُّواْ
ÙˆُجُوهَÙƒُÙ…ۡ Ù‚ِبَÙ„َ ٱلۡÙ…َØ´ۡرِÙ‚ِ ÙˆَٱلۡÙ…َغۡرِبِ ÙˆَÙ„َٰÙƒِÙ†َّ ٱلۡبِرَّ Ù…َÙ†ۡ Ø¡َامَÙ†َ
بِٱللَّÙ‡ِ ÙˆَٱلۡÙŠَÙˆۡÙ…ِ ٱلۡØ£ٓØ®ِرِ ÙˆَٱلۡÙ…َÙ„َٰٓئِÙƒَØ©ِ ÙˆَٱلۡÙƒِتَٰبِ ÙˆَٱلنَّبِÙŠِّۧÙ†َ
...
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi ... (TQS. Al Baqarah [2]: 177)
Kedua, menjaga ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apapun pilihan anak, haruslah mengutamakan Allah dan Rasul-Nya. Artinya, ketetapan Allah dan Rasul-nya berupa ketentuan syariah harus menjadi patokan. Itulah makna taat kepada Allah. Dalam penentuan amal misalnya, maka haruslah mengikuti hukum syariah yang berlaku. Yang wajib tidak boleh ditinggalkan dan harus diutamakan daripada yang sunah, apalagi mubah. Seorang anak perempuan tidak akan memilih aktivitas atau cita-cita yang mengancam pelaksanaan aturan menutup aurat. Ia akan memilih perkara yang mengamankan pelaksanaan hukum syariah kepadanya. Inilah makna menjadikan ketentuan syara sebagai patokan, atau dengan kata lain menjaga ketaatan keapda Allah dan Rasul-Nya. Pesan Rasulullah SAW berikut ini selayaknya tertanam dalam benak anak.
“Bertakwalah
kepada Allah di mana pun engkau berada... “ (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ketiga, memantapkan diri menjadi manusia mulia
di sisi Allah SWT. Kemuliaan manusia
akan terwujud jika ia berada dalam barisan orang-orang yang mengemban Islam. Terlebih, mengemban dakwah Islam adalah
kewajiban bagi muslim dan muslimah (QS. Ali Imran 104, 110, QS. At Taubah 71). Karenanya, Ia bukanlah perkara yang bisa
dipilih atau tidak dipilih. Sehingga, orang
tua harus senantiasa mengarahkan anak agar memilih apapun dengan tidak
melalaikan kewajiban ini. Keagungan
aktivitas ini tergambar dari sabda Rasulullah SAW.
“Penghulu para
syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berkata di hadapan penguasa
yang lalim, lalu ia memerintahkannya (kepada kemakrufan) dan melarangnya
(terhadap kemungkaran) kemudian penguasa itu membunuhnya. “
(HR. Al Hakim)
Faktor
Pendukung
Di samping
mempersiapkan anak, orang tua juga harus menyiapkan diri menjadi pendidik yang
baik, khususnya ketika mengarahkan anak dalam menentukan pilihan apapun dalam
kehidupannya. Berikut beberapa di
antaranya:
Pertama, komunikasi yang baik. Kemampuan mendudukkan harapan orang tua di
hadapan realita dan keinginan anak membutuhkan komunikasi yang baik. Keberhasilan berkomunikasi akan menghasilkan
kecenderungan yang sama dan terhindar dari berbagai konflik. Adapun jika suatu ketika keinginan anak tidak sesuai dengan harapan, orang tua tak selayaknya langsung memarahi
anak, apalagi memusuhinya. Tidak pula anak didiamkan. Anak tetaplah membutuhkan perhatian. Maka, orang tua harus terus berusaha untuk menggali hambatan-hambatan yang terjadi dan berusaha
mengarahkannya. Dalam
perkara-perkara yang dibolehkan oleh syariah, maka orang tua tak selayaknya memaksakan keinginannya kepada anak. Bisa
jadi harapan orang tua terlalu muluk
atau bahkan kurang tepat karena salah mengidentifikasi potensi dan kondisi anak.
Kedua, keteladanan orang tua. Orang tua harus memberi teladan sebaik mungkin dalam pembentukan idealisme anak. Sehingga pilihan yang diambil anak bisa sejalan dengan harapan orang tua. Keteladan orang tua akan menjadi spirit hidup anak. Bahkan bukan tidak mungkin, anak akan menyerahkan pilihan hidupnya mengikuti harapan orang tua yang sudah baik.
Ketiga, bersabar dan tidak terburu-buru. Orang tua harus sabar dalam mendidik anak dan tidak terburu-buru ingin melihat hasil. Proses pendidikan anak kadang memakan waktu lama. Ada baiknya orang tua bersabar dengan memberi kesempatan kepada anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Orang tua hanya perlu mengingatkan tentang konsekuensi dan mengawal terus setiap proses dari semua pilihan yang diambil anak. Sebab, ia adalah pendidik yang bertugas mendampingi ketika anak jatuh, atau salah pilih. Orang tua harus mampu menggelorakan semangat untuk terus bangkit, bukan malah bersikap tidak produktif sehingga menjadikan anak frustasi atas kesalahannya.
Keempat, mendoakan anak. Apapun pilihan anak, maka orang tua harus mengiringinya dengan doa. Orang tua juga harus menjauhkan dari rasa was was karena perasaan itu ia berasal dari syaitan. Menyerahkan urusan kepada Allah adalah jauh lebih baik. Maka biarlah Allah yang menjaga anak kita. Bukankah Allah sebaik-baik penjaga? Karenanya, orang tua harus tetap optimis dan berbaik sangka kepada Allah bahwa Allah akan memberikan kebaikan untuk anak kita dengan cara-Nya.
Demikianlah
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendudukkan harapan orang tua dengan
realita anak. Kita semua tentu berharap
warna kertas pada anak kita adalah coretan yang bagus. Sebab, dengannya hisab kita di akhirat akan menjadi
ringan. Aamiin. []
Komentar
Posting Komentar