Langsung ke konten utama

Menciptakan Kerukunan Umat Beragama di Negara Sekuler, Mungkinkah?

Menciptakan Kerukunan Umat Beragama di Negara Sekuler, Mungkinkah?

Pengantar
Pro kontra soal RUU KUB (Kerukunan Umat Beragama) belum mereda.  Pemerintah pun dibuat pusing karena di negeri plural ini ancaman terhadap kerukunan umat beragama terus meningkat.  Beberapa momentum perayaan hari-hari besar agama, pendirian tempat peribadatan dan munculnya beragam kelompok keagamaam, tak luput dari ancaman gesekan antar penganut agama.  Berharap mendapatkan jalan keluar yang baik, Work Shop dan Konsultasi Program Peningkatan Kerukunan Umat Beragama telah dilaksanakan di Manado pada awal Mei ini.  

Menuntaskan masalah toleransi dan kerukunan umat beragama memang bukan berkara mudah.  Beragam dialog, seminar dan workshop telah diadakan.  Berbagai buku pun telah berupaya mengupas tuntas persoalan ini.  Namun, ibarat angin lalu, semua slogan dan ajakan agar setiap kelompok agama menahan diri dari gesekan seakan tak berarti.  Kelompok Islam radikal biasanya dituding sebagai promotor berbagai tindak intoleransi melalui propaganda anti pluralismenya.  Melihat fenomena seperti ini, nampaknya persoalan ini tidak akan tuntas meski pemerintah pun telah membentuk berbagai kelompok dan forum untuk terus mengembangkan kerukunan umat beragama di negeri ini.

Apa sesungguhnya yang tengah terjadi?  Mengapa kerukunan umat beragama di negeri menjadi persoalan yang amat pelik? Lantas, apa yang seharusnya dilakukan agar tercipta kehidupan rukun antar umat beragama dalam masyarakat?  Dan, bagaimana pula Islam memandang persoalan ini?  Tulisan berikut memaparkannya.


Kerukunan
Mendambakan masyarakat yang rukun dan tentram adalah naluri setiap manusia.  Secara fitrah manusia mendambakan ketentraman dalam masyarakat, apalagi bila di dalam masyarakat tersebut terdapat beragam kelompok dan agama.  Islam juga mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain.  Bahkan dalam negara (daulah) Islam, orang kafir dzimmiy dilindungi darah dan kehormatannya.  Haram bagi muslim untuk memeranginya.  Demikianlah Islam sebagai agama yang sesuai fitrah telah merinci cara mewujudkan salah satu kebutuhan manusia tersebut. 

Meski Islam mengajarkan kehidupan bertetangga yang baik dengan penganut agama lain, di dalamnya juga diatur mekanisme penjagaan bilamana terjadi pertentangan.  Sebab, Islam sangat menjaga batas-batas antara kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kekufuran, yang makruf dan yang munkar, atau upaya penyesatan dan dakwah kepada kebenaran.  Hal-hal semacam ini tetap menjadi pegangan dalam menjaga kurukunan dalam negara Islam.

Islam menghendaki kehidupan rukun antar pemeluk agama.  Namun, kerukunan yang dimaksud tetap berada dalam batasan syariat.  Misalnya, tidak mencampur adukkan yang haq dan batil, yang halal dan haram, yang benar dan salah, yang Islam dan kufur.  Allah SWT berfirman :

“Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku." (TQS. Al kafiruun : 6)

Demikian pula gambaran masyarakat yang pernah dibangun Rasulullah saw. di Madinah.  Beliau berhasil menciptakan kerukunan antar kelompok dan penganut agama dengan perjanjian yang beliau buat (Piagam Madinah).  Masing-masing kelompok terikat dengan perjanjian tersebut.  Dan apabila ada yang melanggarnya, maka mereka dianggap telah membuat fron yang layak dilawan oleh negara.  Dengan demikian, negara (daulah) Islam pernah membangun mekanisme kehidupan yang baik antar penganut agama. 

Yang menjadi persoalan saat ini adalah mengapa propaganda kerukunan umat beragama yang saat ini gencar dilakukan harus ditolak?  Lantas, apa solusi yang tepat untuk menciptakan kerukunan umat beragama sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah saw dan didambakan oleh setiap manusia?

Sekulerisme Lahirkan Pertikaian
Menelusuri sebab munculnya berbagai pertikaian antar kelompok agama, patutlah kita menengok pola kehidupan masyarakat saat ini.  Dan, ideologi sekulerisme memang layak dituding menjadi biang keladi semua persoalan ini.  Mengapa? Sebab sekulerismelah yang melahirkan sikap liberal di satu sisi dan fanatisme berlebihan di sisi lain.  Ia juga melahirkan kebijakan bagi terkungkungnya sikap beragama (khususnya bagi muslim) dan tirani minoritas kepada mayoritas di negeri ini. 

Kecemburuan pihak muslim terhadap kelompok non muslim kerap kali dipicu oleh kebijkan yang timpang dari penguasa sekuler.  Demikian pula sikap arogan kelompok non muslim terhadap misi-misi Islam yang suci, pun terjadi karena penguasa sekuler tidak tegas memberlakukan hukum yang adil bagi semua kelompok.  Demikian pula dengan kemunculan beragam aliran dan kelompok keagamaan yang dipicu oleh tidak adanya kebijakan yang benar dari penguasa sekuler.

Itulah pula yang membuat segelintir kalangan muslim justru memusuhi kelompok yang berupaya menegakkan Islam.  Mereka malah mendukung aksi non muslim dan penganut aliran di luar Islam dalam mewujudkan tujuan-tujuannya.  Dengan demikian, gesekan sesama penganut Islam pun tidak sedikit terjadi.  Ini semua terjadi karena penguasa sekuler tidak mampu mengambil kebijakan yang adil sebagaimana Rasulullah saw.

Demikianlah, persoalan kerukunan umat beragama ini tidak bisa dilepaskan dari rapuhnya ideologi sekulerisme.  Ideologi inilah yang mencetuskan persolan pelik ini.  Ideologi ini pula yang menghalagi upaya mewujudkan kerukunan yang hakiki.  

Dengan kata lain, persoalan kerukunan umat beragama tidak akan bisa diselesaikan dalam tata kehidupan sekuler.  Sebab, sekulerisme tidak menjadikan hukum Allah sebagai bagian dari proyek penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.  Dan setiap penyimpangan terhadap hukum Allah SWT pasti membawa kemudharatan bagi manusia.  Allah SWT berfirman :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".(TQS. Thahaa [20] : 124)

Dengan demikian, propaganda kerukunan umat beragama yang didengungkan sistem sekuler saat ini hanyalah mitos yang sangat sulit diwujudkan.  Beragam program baik berbentuk propaganda toleransi, pluralisme dan sejenisnya akan menemui berbagai kegagalan sebagaimana yang terjadi saat ini.

Kerukunan, Pluralisme dan Pengebirian Hukum Syariat
Kegagalan proyek kerukunan ala sekulerisme sebenarnya bisa ditelusuri dari upaya pengebirian hukum syariat.  Sebab, berdalih toleransi, umat Islam kerap diminta menanggalkan sebagian identitas dan bentuk-bentuk kepribadian Islamnya.  Pernyataan Wapres Boediono tentang perlunya pengaturan suara adzan beberapa waktu lalu bisa menjadi contoh upaya memenangkan toleransi dan kerukunan seraya mengebiri hukum Islam.  Berdalih menjaga kerukunan pula doa bersama antar penganut agama kerap dilantunkan di berbagai kesempatan seremonial.  Padahal syariat Islam telah mengatur tata cara berdoa bagi muslim.  Inilah salah satu alasan penolakan propaganda kerukunan ala sekulerisme. 

Kerukunan ala sekulerisme juga layak ditolak karena memberi kesempatan bagi berkembangnya paham pluralisme, khususnya pluralisme agama.  Pemahaman ini amat berbahaya karena telah menisbikan kebenaran.  Pluralisme agama juga akhirnya mengajarkan bahwa tidak ada agama yang paling benar atau semua agama benar.   Perbedaan pada tata cara peribadatan tidak menjadi masalah karena toh yang dituju adalah Tuhan yang satu, begitulah salah satu buah pemikirannya. 

Melalui pluralismelah, beragam paham dan kelompok tumbuh menjadi tak terkendali, benar dan salah bercampur aduk, iman dan kufur kian tipis perbedaannya.  Itu semua merupakan buah busuk pluralisme.  Oleh karena itu, pantaslah jika dikatakan bahwa pluralisme memang bukan alat untuk menciptakan kehidupan rukun antar umat beragama, sebagaimana yang diduga banyak kalangan.  Pluralisme agama adalah penyulut konflik, bukan solusi.   Dengan kata lain, propaganda kerukunan ala sistem sekuler hanyalah kedok bagi pluralisme demi keberlangsungan sekulerisme –induknya.  Dan sudah barang tentu, buah dari semua ini adalah pengebirian hukum Syariat yang seharusnya ditegakkan oleh setiap muslim.

Jebakan propaganda kerukunan berbalut pluralisme ini seharusnya membuat umat Islam semakin sadar untuk selalu merujuk kepada ajaran Islam yang murni, tidak terkontaminasi slogan manis kerukunan umat beragama.  Umat Islam harus memahami konsep yang tepat untuk mewujudkan kerukunan hakiki tanpa harus mengorbankan ketaatan kepada Sang Khalik. 

Toleransi ala Piagam Madinah
Piagam Madinah memang menjadi bukti adanya pengaturan hubungan yang baik antar kelompok dan agama dalam negara Islam.  Namun, harus dipahami bahwa hal ini tidak sama dengan konsep kerukunan dan toleransi yang dipropagandakan sistem sekuler saat ini.  Mengapa?  Detil berikut ini akan menunjukkan bagaiamana Islam menjaga kerukunan dalam negara Islam.

Ketika Rasulullah saw. mendirikan negara Islam di Madinah, masyarakat Madinah terdiri dari beberapa kelompok.  Pertama, kelompok kaum muslim dari kalangan kaum muhajirin dan anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas.  Kedua, kelompok musyrik yang berasal dari kabilah-kabilah yang ada di Madinah.  Mereka sudah terwarnai oleh opini Islam.  Mereka sudah tidak nampak sebagai masyarakat tersendiri.  Ketiga, kelompok Yahudi dari berbagai kabilah yang tinggal di wilayah Kota Madinah, termasuk Yahuni Bani Qainuqa, dan kelompok yahudi yang tinggal di luar kota madinah yaitu Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraidzah.  Kelompok Yahudi ini merupakan komunitas yang terpisah dengan komunitas kaum muslim, pemikiran dan perasaan mereka berbeda dengan kaum muslim.  Begitu pula metode pemecahan masalah diantara mereka.  Sehingga mereka merupakan kelompok masyarakat tersendiri yang terpisah dari masyarakat Madinah.

Yahudi sejak lama telah mengintimidasi masyarakat Madinah.  Oleh karenanya mereka merupakan masalah yang mungkin muncul paling awal ketika negara Madinah baru berdiri. Masalah ini memerlukan solusi.  Rasulullah saw. menyusun teks perjanjian yang mengatur interaksi antar kaum muslim dan sesama warga negara, hak dan kewajiban warga negara dan hubungan luar negeri. Piagam ini diawali dengan : “Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm, ini adalah kitab (ketentuan) dari Muhammad, Nabi saw, untuk mengatur hubungan antara kaum mukmin dan muslim yang terdiri dari orang-orang Quraisy dan penduduk Yatsrib serta siapa saja yang mengikuti, bekerja sama dan berjihad bersama mereka. ….”
Secara garis besar Piagam Madinah ini mengatur :
  • Interaksi antar kaum mukmin (klausul no. 1-15 dan 17-24)
  • Interaksi kaum mukmin (muslim) dengan warga negara non muslim (Yahudi) yang tunduk kepada hukum Islam sebagai seorang kafir dzimmi.  Antara lain : "dan bahwa orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami, maka mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama, mereka tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya" (klausul 16); "dan bahwa orang Yahudi akan mendapat pembagian harta bersama kaum mukmin selama mereka ikut berperang (bersama kaum mukmin)" (klausul 25)
  • Hukum yang diterapkan adalah hukum Islam.  Jika terjadi perselisihan maka solusi dan hukumnya dikembalikan kepada hukum Islam.  "dan bahwa kalian, apapun yang kalian berselisih tentang sesuatu maka tempat kembalinya adalah kepada Muhammad saw".(klausul 24)
  • Interaksi kaum muslim dengan komunitas yahudi yang ikut menandatangani Piagam Madinah (Yahudi Bani 'Awf, Bani an-Najjâr, al-Hârits, Sâ'adah, al-Aws, Tsa'labah, Jusyam, Jufnah Buthn min Tsa'labah, Bani asy-Syatîbah, Sekutu Tsa'labah dan teman-teman dekat mereka). Diantaranya :

a.  Kedekatan dan Kekerabatan Yahudi berlaku antar mereka (klausul 35, 36). "Tidak seorangpun dari mereka boleh keluar (dari Madinah) kecuali dengan izin Muhammad saw"  (Klausul 37). 
b.  Mereka tidak boleh bekerja sama dengan dan atau memberi bantuan kepada kafir Quraisy (klausul 45-47). 
c.  Kota Madinah harus menjadi kota suci (harus dijaga) oleh semua orang yang menandatangai Piagam Madinah, (kalusul 41-43).  "Bahwa peristiwa atau perselisihan yang terjadi diantara orang-orang yang menandatangai piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah 'Ajja wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw, dan bahwa Allah menjaga dan berbuat baik kepada orang-orang yang menandatangani piagam ini." (Klausul no. 44)

Menilik garis besar Piagam Madinah tersebut, nyatalah bahwa kerukunan yang dibangun Rasulullah saw. adalah kerukunan di bawah pengaturan hukum dan kekuasaan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah saw.  Dengan kata lain, kerukunan yang hakiki hanya dapat diwujudkan dalam negara khilafah Islam yang menerapkan hukum Islam bagi seluruh warga negara baik yang muslim maupun non muslim.

Yang menjadi persoalan bukanlah pemaksaan satu agama (yaitu Islam) sebagai pengatur atau pengendali.  Namun, dengan hanya menjadikan Islam sebagai pengatur akan menjamin kebaikan bagi kehidupan seluruh warga negara.  Sebab, Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam jika diterapkan secara  kafah.  Demikian janji Allah SWT dalam Al Qur’an.

Kenyataan tersebut sekaligus membantah asumsi sebagian kalangan bahwa piagam Madinah merupakan dalil bagi pluralisme.  Yang sebenarnya, negara Islam menjamin hak bagi setiap warga negara (daulah Islam) baik muslim maupun non muslim untuk menjalankan peribadatan masing-masing dengan tetap mematuhi peraturan daulah.  Daulah Islam tidak menyatakan bahwa bahwa setiap agama benar.  Bahkan dakwah kepada non muslim tetap berlangsung terutama melalui penerapan hukum syariat di dalam negeri sehingga mereka akan mengetahui cahaya Islam.

Hal ini juga membantah asumsi sebagian kalangan yang tidak percaya bahwa Hukum Islam mampu mengatur keragaman.  Mereka malah berdalih  bahwa jika agama (Islam) dijadikan patokan dalam membuat kebijakan maka akan menimbulkan pertikaian.  Padahal kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa kehidupan yang harmonis dalam keragaman pernah dirasakan tatkala negara berada dalam kemajuan peradabannya di bawah sistem Khilafah Islam yang menerapkan hukum syariat.  Cukuplah ini menjadi bukti di samping janji Allah SWT yang bertaburan dalam firman-firman-Nya.

Penutup
Kerukunan umat beragama akan tetap menjadi probematika pelik di negara sekuler ini.  Ia tidak akan terselesaikan karena sekulerisme -yang menjadi asas bagi penyelesaian masalah ini- tidak sesuai dengan fitrah manusia.  Di samping itu, propaganda kerukunan ini telah menjadi kuda tunggangan bagi paham pluralisme.  Akibatnya, kebebasan umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya menjadi terbelenggu.  Inilah pangkal penentangan segala agenda terselubung di balik keinginan hidup rukun antar pemeluk agama ini. 

Kehidupan rukun antar umat beragama hanya dapat diwujudkan dalam Negara Khilafah Islam yang menerapkan hukun Syariat Islam secara total.  Negara ini juga telah terbukti mampu menciptakan keharmonisan masyarakat yang plural sejak Rasulullah saw. mendirikannya di Madinah.  Dengan demikian, menjadi tugas bersama seluruh komponen umat untuk menolak propaganda kerukunan umat beragama versi sekulerisme sekaligus berjuang menegakkan daulah Khilafah Islam.  Tidak ada cara lain.  Semoga kita tidak ketinggalan gerbong perjuangan mewujudkan itu semua.  Aamiin ya Robbal ‘alamiin. [] Noor Afeefa

                                                                    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka