Langsung ke konten utama

Mencermati Fenomena Anak Pelaku Kejahatan : Peran Strategis Pendidikan Islam di Keluarga dan Sekolah

Mencermati Fenomena Anak Pelaku Kejahatan :
Peran Strategis Pendidikan Islam
di Keluarga dan Sekolah

Pengantar

Setiap keluarga muslim tentu mengharapkan anak-anak yang dilahirkannya adalah anak-anak sholih yang memberi kebaikan bagi kedua orang tuanya di dunia maupun akhirat.  Keberadaan anak-anak sholih ini tentu juga menjadi harapan bagi masyarakat dan bangsa.  Namun sayangnya, tidak semua harapan itu mampu diwujudkan.  Dalam kehidupan yang sekuler kapitalistik saat ini, fenomena anak-anak nakal -bahkan melakukan kejahatan- menjadi perkara yang jamak terjadi. 

Data Komnas Perlindungan Anak menyatakan bahwa ada 6000-an anak per tahun yang berurusan dengan hukum. Banyaknya anak yang berperkara di pengadilan mungkin belum seberapa jika ditambah lagi dengan banyaknya anak yang melakukan kejahatan namun tidak diproses hukum.  Ini berarti jumlah anak pelaku kejahatan bisa jadi amat banyak.

Dari berbagai jenis kejahatan yang biasanya dilakukan anak-anak, tindak pencurian menduduki peringakat tertinggi, disusul kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencabulan, dan pembunuhan (kapanlagi.com).  Yang lebih memiriskan, jumlah kejahatan yang dilakukan anak-anak di negeri ini meningkat tiap tahunnya.  Mengapa?

Sebagai orang tua, kita tentu merasa prihatin atas kondisi ini.  Hal ini bukan saja karena mereka adalah anak-anak negeri yang akan meneruskan estafet pembangunan bangsa, namun juga karena ada rasa kekhawatiran bila kejahatan yang mereka lakukan berimbas bahkan menular kepada anak-anak kita.  Na’udzubillahi min dzalik.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penting kiranya memahami persoalan ini agar kita mampu  melindungi buah hati kita dari perilaku jahat sekaligus memiliki pandangan yang benar terhadap persoalan kejahatan anak ini agar kita bisa ikut andil dalam memperjuangkan perubahan menuju anak-anak yang berkualitas. [...]

Mengapa Anak Berbuat Jahat?
Kejahatan anak adalah semua bentuk tindakan menyimpang dari ketentuan Allah SWT yang dilakukan oleh anak-anak (pada masa pra baligh), baik yang merugikan orang lain maupun tidak.  Fakta-fakta tentang banyaknya perilaku jahat anak sebenarnya tidak terhitung jumlahnya.  Sebab, yang termasuk dalam hal ini bukan hanya yang dilaporkan dan diperkarakan oleh pihak berwenang.  Kejahatan anak juga kerap muncul dalam lingkup keluarga dan tidak sempat terlaporkan. 

Munculnya perilaku jahat pada anak tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan anak.  Disadari atau tidak, tata kehidupan sekuler kapitalistik sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku anak.  Dampak yang paling dirasakan langsung dari sitem kufur ini adalah kemiskinan, kesenjangan pola kehidupan masyarakat dan gaya hidup liberal (serba bebas). 

Kemiskinan menjadi pemicu utama berbagai tindak pencurian yang dilakukan anak-anak.  Tingginya kesenjangan pola kehidupan masyarakat -yaitu di satu sisi anak-anak mendapati sulitnya hidup, sementara di sisi lain terpampang fakta kehidupan hedonis (hura-hura, berlimpah materi)- juga kerap merangsang tindakan jahat.  Sementara gaya hidup liberal akibat keluarga, masyarakat dan negara yang  tidak mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka berpotensi mendorong anak-anak berperilaku nakal dan jahat serta mengabaikan aturan Islam.  Mereka merasa sah atau boleh memperoleh harta secara serampangan, melampiaskan nafsu sesuka hati, makan dan minum tanpa terikat aturan Islam dan lain-lain. 

Dengan demikian, perilaku jahat anak tidak bisa dilepaskan dari ideologi (pandangan hidup) masyarakat saat ini yang jauh dari Islam.  Di samping itu,  ada beberapa persoalan lain yang turut memicu perilaku jahat pada anak, yaitu pola asuh dan pola didik anak.

Pola kehidupan dan pola asuh orang tua kepada anak yang keliru berpotensi besar memicu tindakan jahat pada anak.  Tak sedikit orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan kekerasan  (yang tidak disyar’iatkan Islam) sehingga anak-anak cenderung menyukai kekerasan sebagai jalan keluar masalah yang mereka hadapi. 

Sering pula dijumpai orang tua yang cenderung mengajarkan hidup mewah pada anak.  Mereka melupakan aspek kesederhanaan dan kebersahajaan.  Ketika anak-anak terbiasa hidup mewah, mereka akan sulit bertahan dalam kehidupan yang terbatas.  Dalam kondisi tertentu inilah, anak-anak akan mudah mengambil jalan pintas (berbuat jahat) bila kenyamanan yang selama ini mereka rasakan hilang.

Orang tua juga kerap lupa memberikan arahan dan bimbingan terhadap anak atas berbagai fasilitas media yang diberikan kepada anak.  Akibatnya tak sedikit anak yang belajar berbuat jahat melalui tayangan TV, film kekerasan, game, komik dan lain-lain.

Kesempatan anak berbuat jahat juga kadang dibuat sendiri oleh orang tuanya.  Ada orang tua yang teledor menyimpan senjata, film porno, minuman dan obat terlarang bahkan uang tunai yang bisa digunakan untuk tindakan jahat apapun.  Hancurnya institusi keluarga, seperti perselingkuhan dan  perceraian juga turut memicu terjadinya kejahatan anak.  Sebab, anak yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya, kerap melampiaskan kebutuhannya dengan berbuat jahat. 

Adapun lingkungan, baik di sekolah maupun masyarakat luas, juga berpengaruh terhadap tindakan jahat anak.  Pertemanan adalah jalan yang paling banyak mempengaruhi.  Ini terlihat dari banyaknya kejahatan anak yang dilakukan secara berjama’ah (berkelompok).  Di usia yang masih sangat labil, anak-anak akan cenderung mengikuti pola lingkungannya.  Oleh karena itu, betapa berat perjuangan anak yang harus memenangkan kesalihan diri di lingkungan yang buruk (mengajarkan kejahatan).

Dalam sistem pendidikan yang sekuler di negeri ini, peningkatan kadar takwa anak tidak menjadi prioritas utama.  Oleh karena itu, anak tidak cukup mendapatkan benteng pertahanan dari buruknya pola kehidupan sekuler yang liberal.  Padahal, anak-anak memiliki kesempatan yang cukup lama bersama tim pendidik di sekolah dalam kesehariannya.  Karenanya, sangat disayangkan jika sekolah tidak berfungsi mencetak peserta didik yang tinggi takwanya dan berkepribadian islam.  Padahal, inilah satu-satunya benteng yang bisa mencegah anak dari perilaku jahat.

Dengan demikian, ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku jahat pada anak, yaitu pertama, faktor internal berupa lemahnya kualitas iman dan takwa anak, sehingga anak tidak takut berbuat dosa dan cenderung berani melanggar aturan agama (Islam).  Kedua, yaitu faktor eksternal berupa lingkungan yang buruk baik di dalam keluarga maupun di masyarakat (termasuk sekolah).

Waspada Sejak Dini
Orang tua harus waspada bila sang buah hati mulai bertingkah tidak wajar bahkan cenderung menentang tata normatif.  Kebiasaan yang buruk di usia belia bukan tidak mungkin akan menjadi tabiat di masa berikutnya.  Karenanya orang tua tidak boleh mentolelir atau menganggap remeh jika misalnya sang anak gemar berbohong, menyembunyikan barang milik orang lain, memukul temannya, berkata kasar, dan sejenisnya.

Pada usia balita, anak memang kerap mulai menampakkan perilaku tersebut.  Namun orang tua selayaknya tidak menganggap wajar atau membiarkan perilaku tersebut.  Sebaliknya, orang tua harus berusaha menghentikan kebiasaannya.  Sebab, secara fitrah anak-anak terlahir dalam keadaan bersih, berpotensi memilki perlaku baik.  Namun, jika pada tahapan eksplorasi anak dibiarkan berkembang sendiri tanpa arahan, maka anak akan cenderung berperangai jahat.  Sungguh merugilah orang tua, jika perilaku jahat anak ternyata sudah terbentuk sejak masih belia, hanya karena kelalaian orang tuanya.

Prinsip Penyelesaian
Menyelesaikan persoalan kejahatan anak memang tidak mudah, lebih-lebih bila perilaku jahat tersebut sudah menjadi kebiasaan.  Namun demikian, dengan menilik sebab-sebab yang mempengaruhi perilaku menyimpang ini, maka penyelesaian terhadap masalah ini harus bertumpu pada tiga prinsip berikut :

Pertama, pendekatan yang alamiah pada anak.  Berkomunikasi dengan anak yang bermasalah tentu bukan perkara mudah.  Namun, orang tua selayaknya memampukan diri untuk senantiasa mengasah komunikasi yang efektif dengan sang buah hati.  Kasih sayang atau bahasa cinta adalah perekat yang paling kuat antara orang tua dan anak.  Pemberian nasihat, pembinaan, hingga sanksi dari orang tua kepada anak haruslah dilakukan dengan bahasa cinta, bukan menghakimi, apalagi memvonis bahwa sang anak adalah penjahat.  Komunikasi yang efektif berpeluang besar mengubah standar dan arah pandang kehidupan sang buah hati sehingga akan condong pada kebaikan.

Kedua, membangun self control.  Diyakini, perilaku jahat pada anak  adalah tindakan lepasnya kontrol diri dari menetapi kebenaran.  Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini harus bersandar pada upaya penguatan akidah dan pemahaman terhadap hukum syariat Islam.  Sebab, dorongan dari dalam inilah yang akan membentengi anak untuk tidak melakukan perbuatan buruk.  Di samping penguatan akidah, self control juga bisa dibentuk dengan membangun konsep diri yang baik pada anak.  Menumbuhkan kepribadian yang Islami pada anak juga akan membentengi anak dari perbuatan tercela.  Sebab, anak berkepribadian Islam tidak mengenal kamus jahat, kalaulah mengetahui, ia memahaminya sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan.

Ketiga, menciptakan lingkungan yang mendukung.  Di samping upaya membangun pertahanan dari dalam, diperlukan pula lingkungan yang mendukung sebagai benteng pertahanan dari serangan virus bernama kejahatan.  Dalam hal ini diperlukan peran orang tua, masyarakat (terutama sekolah) dan negara.

Ketiga prinsip penyelesaian tersebut harus dilakukan secara simultan.  Artinya, bila salah satunya tidak terlaksana, maka efektifitas penyelesaian akan jauh berkurang bahkan akan tereduksi oleh faktor lainnya.

Langkah Praktis
     Orang tua dan sekolah berperan besar dalam upaya mencegah dan menanggulangi perilaku jahat pada anak.  Pendidikan Islam sebagai basis untuk membangun self control dan lingkungan yang kondusif mutlak dijalankan secara komprehensif.  Berikut yang bisa dilakukan orang tua agar sang buah hati terhindar dan meninggalkan tindakan jahatnya.  
    
     1. Untuk menumbuhkan self control, anak-anak harus dididik agar memiliki kekuatan akidah dan pemahaman hukum syariat yang cukup.  Orang tua juga harus memperhatikan aspek pembentukan kepribadian Islam  sang anak dan memastikan aqliyah (pemahaman) harus selaras dengan nafsiyahnya (perilaku).  
    
     2.   Hindarilah beberapa kesalahan dalam mendidik anak yang bisa berimbas pada terbentuknya peluang anak berbuat jahat.  Didiklah anak dengan cinta bukan kekerasan.  Ajarkanlah kepada mereka kesederhanaan bukan kemewahan, juga kebersahajaan bukan ketamakan, optimisme bukan pesimisme, juga sifat malu bukan mengumbar nafsu dan sebagainya.
    
     3.  Orang tua juga harus meningkatkan kontrol terhadap anak, antara lain terhadap teman sepermainan, media yang biasa ada di sekitar anak, bahkan belanja anak.
    
     4.  Berikan pula perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anak.
    
     5.    Pihak orang tua hendaklah berupaya mewujudkan ketahanan rumah tangga/keluarga.  Sebab, keluarga yang harmonis akan memberikan ketenangan kepada sang buah hati sehingga mereka tidak akan mencari perhatian dengan tindakan menyimpang.
    
     6.   Orang tua hendaklah mampu menjadi kepanjangan tangan sekolah baik dalam upaya membentuk kepribadian anak maupun menjaga dari kebiasaan baik yang diajarkan di sekolah. 

Sekolah sebagai lingkungan yang paling dominan mempengaruhi anak selayaknya juga berperan mereduksi tindakan jahat anak-anak.  Sebagai bagian dari pihak yang mendidik anak, sekolah sangat berperan penting terutama dalam hal-hal berikut:
    
     1.  Meningkatkan kadar iman dan takwa anak-anak.  Dengan program pembinaan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) , mentoring, integrasi pendidikan agama dalam setiap mata pelajaran, sekolah diharapkan berperan aktif mengarahkan siswanya menjadi orang yang senantiasa berpegang teguh pada kebaikan.
    
     2.  Menciptakan budaya sekolah yang baik : kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, rasa malu sehingga anak didik terbiasa berlaku baik dan tidak mengenal perilaku jahat.
    
     3.  Melakukan kontrol dan pembiasaan terhadap perilaku siswa, baik dalam beribadah, memanfaatkan alat-alat teknologi komunikasi, membelanjakan harta, berinteraksi dengan lawan jenis, dan lain-lain.

Semua upaya di atas tentu akan lebih mudah bila negara memfasilitasinya dengan penerapan ideologi Islam dalam kehidupan.  Selama sekulerisme masih menjadi bagian dari negara ini, upaya di atas memang akan mendapatkan tantangan yang sangat berat.  Namun, setidaknya di tengah sulitnya kehidupan, kita masih berharap menjadi orang-orang terdepan yang melahirkan generasi berkualitas.

Penutup
Fenomena anak pelaku kejahatan merupakan dampak dari jauhnya kaum muslim terhadap ajaran Islam.  Sekulerisme telah membawa anak-anak di negeri ini hidup serba terbatas dan terpola dengan pandangan keliru.  Semua itu telah nyata-nyata membuat sang buah hati yang seharusnya menjadi kebanggaan orang tua menjadi terpuruk dalam kubangan kehinaan bernama kejahatan.

Meski demikian, persoalan ini bukan akhir dari kehancuran generasi.  Mereka akan terselamatkan bilamana keluarga (yaitu orang tua) bersama pihak sekolah dan negara saling bersinergi memberikan pendidikan terbaik bagi putra putri kaum muslim.  Generasi ini akan terselamatkan menjadi generasi pembangun dan pemimpin hanya apabila dididik dengan pendidikan Islam (dalam bingkai sistem Islam/Khilafah).

Semoga kita semua semakin cerdas dalam memberikan yang terbaik bagi buah hati kita.  Sebab, mereka adalah aset untuk membangun peradaban masa depan, masa kejayaan Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam.[] Noor Afeefa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak

Menanamkan Adab Bicara kepada Anak Di antara perkara yang cukup merepotkan orang tua dari tingkah laku anak-anaknya adalah kebiasaan buruk dalam berbicara.  Padahal berbicara adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan manusia.  Berbicara pula yang pertama-tama dilakukan bayi saat baru lahir, melalui tangisannya.  Dan betapa bahagianya sang ibu tatkala mendengar kata pertama yang diucapkan buah hatinya.  Selanjutnya, seiring perjalanan waktu, sang anak pun mulai tumbuh, berkembang, dan menyerap berbagai informasi yang diterimanya.  Saat itulah sang anak mulai banyak mengatakan segala sesuatu yang pernah ia dengar.  Sayangnya, tak jarang kebahagiaan ibu harus tergantikan oleh rasa prihatin terutama saat sang buah hati mulai berbicara tanpa adab, sopan santun, bahkan  bertentangan dengan syari’at.  Rasa prihatin kian mendalam bila ternyata meski anak sudah mulai menginjak usia baligh, adab berbicara justru semakin ditinggalkan.  Tak jarang ditemui mereka berani membanta

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas

Sistem Islam Atasi Pergaulan Bebas Pergaulan bebas rupanya masih menjadi persoalan paling rumit khususnya bagi remaja.  ; Setidaknya mungkin itulah bentuk keprihatinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada peringatan Hari Anak Nasional beberapa hari lalu.  Saking prihatiannya, menteri yang baru diangkat tersebut pun kembali melontarkan pernyataan nyeleneh, yaitu pacaran ‘sehat’.  Menurut beliau, dalam berpacaran harus saling menjaga, tidak melakukan hal-hal yang berisiko.  Masa remaja adalah masa yang tepat untuk membekali informasi, penguatan mental, dan iman dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar, sebelum mereka mulai aktif secara seksual (antaranews.com, 13/07/2012).  Sebelumnya beliau juga telah menyampaikan sebuah kebijakan kontroversi, yaitu kondomisasi yang ditentang keras oleh hampir seluruh komponen umat Islam. Berkaitan dengan penanggulangan masalah pergaulan bebas ini, beberapa waktu lalu, LPOI (Lembaga Persahabatan Ormas Islam) juga mengusulkan solu

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme

Keluarga dalam Ancaman Kapitalisme Tak dapat dipungkiri, kehidupan sekuler kapitalistik yang mendominasi kehidupan kaum muslim saat ini telah membawa petaka di segala bidang, tak terkecuali institusi keluarga.  Gambaran indahnya keluarga muslim sejati yang dijanjikan Allah SWT kini pudar tergerus oleh kejahatan kapitalisme.  Ideologi yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah sukses mengantarkan keluarga di ambang kehancuran.   Kapitalisme Biang Kerok Segala Persoalan Di antara persoalan paling menonjol yang ditimbulkan kapitalisme adalah kemiskinan.  Bahkan kemiskinan telah menjadi momok paling menakutkan sehingga sempat menipu sebagian kalangan yang ingin melakukan perubahan bagi masyarakat.   Saking beratnya, kemiskinan dianggap persoalan paling penting, sedangkan aspek yang lain kerap dikesampingkan.  Mengapa kapitalisme menghasilkan kemiskinan?  Tentu saja, karena teori ekonomi kapitalisme dibangun berdasarkan asumsi yang keliru.  Asumsi yang selalu ditanamka